Minggu, Agustus 17, 2008

Kenyamanan Dalam Hubungan

Akhir-akhir ini dunia perpolitikan Indonesia sedang hangat-hangatnya oleh kesibukan semua partai politik dalam mempersiapkan strategi memenangkan Pemilu tahun 2009. Dalam suatu kesempatan yang tak diduga, saya terlibat dalam rapat yang tadinya saya pikir merupakan rapat untuk persiapan kantor saya menghadapi proyek selanjutnya, tapi ternyata teman kerja saya itu membawa saya ke sebuah forum yang menggagas tentang bagaimana figur seorang pemimpin bisa menjadi penentu keputusan pilih dalam hajatan besar negara yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali di Indonesia tersebut. Saya mulai gak konsen, karena memang saya tidak terlalu aktif mengikuti perkembangan dunia politik tanah air. Ketika para undangan mulai memaparkan pandangannya satu persatu, saya malah melamun dan mulai membayangkan, bagaimana sih sebenarnya sosok seorang pemimpin yang diharapkan oleh bangsa saya ini. Saya malah membandingkan hubungan antara seorang pemimpin dengan rakyatnya kayaknya kok tak terlalu berbeda jauh seperti layaknya hubungan antara seorang pemuda dengan kekasihnya.
Seorang pemuda, dalam hal ini kita proyeksikan dengan sosok pimpinan, akan berhasil membuat wanitanya jatuh cinta, dalam hal ini rakyatnya, jika dia mampu memberikan kenyamanan di dalam hatinya. Cara dia tersenyum, cara dia bertingkah laku, bertutur kata, kesan simpatik yang ditimbulkannya, pola-pola pikir dia ke depan, cara dia menyikapi masalah yang ada saat itu, merupakan beberapa dari sekian banyak hal yang dituntut oleh seorang wanita terhadap apa yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki pada umumnya.
Berawal dari ketidakpercayaan seorang wanita terhadap laki-laki tak dikenal yang mendekatinya, maka nilai-nilai estetika dan semua hal positif yang konsisten dijalankan merupakan hal yang menentukan dipilih atau tidaknya seorang laki-laki oleh sang wanita yang dipujanya tersebut. Ketika sang wanita mulai merasa nyaman dan yakin, maka semuanya lalu mulai berlanjut sesuai proses alamiah dalam pola pembentukan suatu hubungan. Jadi, sebelum jatuh cinta, maka unsur kenyamanan itu seharusnya mutlak sudah harus ada terlebih dahulu di hati sang wanita, nah, dari situ maka barulah diatur langkah-langkah selanjutnya agar hubungan tersebut dapat terus berkembang untuk kebaikan kedua belah pihak.
Kalau pemimpin? Hehe, sambil menyantap hidangan yang disajikan panitia saya masih juga gak konsen dengan para penceramah yang memberikan teori-teori mutakhirnya tentang sistem propaganda ( hehe, maaf lho Pak, saya nggak "sampai" kalo disuruh ikut mikirin masalah gitu-gitu, maaf, hehe ). Pikiran saya masih menerawang sambil mengambil pencuci mulut. Kalau pemimpin? Wah, faktor kenyamanan masyarakatnya lebih mutlak lagi. Bagaimana dia mau "digugu" ( bahasa Jawa: digagas, diperhatikan, didengarkan suaranya ) kalau dia tidak mampu meyakinkan hati pujaannya ( baca: rakyat ) dengan pesonanya yang menimbulkan rasa nyaman dan tenang. Saya pikir seorang pemuda jarang ada yang langsung memberikan janji-janji terhadap gebetannya ketika baru berada di tahap-tahap awal hubungan. Yang seharusnya perlu dilakukan pertama kali adalah membentuk atmosfir kenyamanan itu sendiri, sehingga dengan rasa nyaman yang tercipta, maka rakyat akan dengan suka rela menjadi militan-militan yang dengan tulus ikhlas memberikan dukungan penuh untuk calon pemimpinnya tersebut. Bangsa ini butuh tindakan riil, butuh motivasi, butuh bimbingan, bukan janji.
Semoga semua proses pendewasaan bangsa kita akan bisa berkembang sampai mencapai format terbaik yang betul - betul sesuai dengan bangsa ini. Amien...