Rabu, November 19, 2008

Satu Babak Di Salah Satu Penerbanganku


“ Ya Pak, pesawat delay 50 menit.”

Shit. Ucapan pramugari itu membuatku memaki kesal. Terbayang perjalananku yang nyaris liar menuju bandara tadi, tubruk sana tubruk sini, pamit sama bosku di kantor sambil setengah berlari waktu keluar dari ruangannya, kebut-kebutan melanggar beberapa rambu lalu lintas, dan yang terparah, flashdiskku yang berisi data-data kerjaan penting paling update ketinggalan di CPU computer.

“ Oh, ok,” jawabku singkat.

“ Apakah ada bagasi Pak?,” tanya sang pramugari ramah setelah melakukan pengecekan dan pendataan check in passenger dari tiketku.

“ Tidak, terima kasih,” jawabku lagi sambil menghentakkan tas ranselku lebih rapat ke lekukan atas punggungku.

Perjalananku pulang kali ini memang benar-benar meminimalisasi barang bawaan di dalam tasku. Dengan satu buah laptop, berkas-berkas kerja, dan beberapa buku saja, tas ransel 50 kilogramku ini sudah terasa sangat memberatkan beban di pundakku yang semakin hari semakin bungkuk saja rasanya.

Huh, masih sangat lama. Jam tanganku menunjukkan pukul 18.35 WIB. Jiwaku mulai terasa kosong, membayangkan liburan panjang yang akan kujalani di rumah.

“ Liburlah dulu barang satu bulan, “ ucap bosku di satu malam di dalam mobil, beberapa hari lalu saat kami pulang bersama setelah meeting dengan salah satu client.

Satu bulan? Busyet, lama sekali, satu minggu saja sudah cukup bagiku untuk melepaskan penat di otakku ini. Tak terbayang betapa kosongnya hari-hariku tanpa deadline dan tekanan dari berbagai pihak, seperti yang selama ini kujalani di Ibukota. Hehe, mungkin aku termasuk kategori orang aneh yang tidak terlalu menyukai kekosongan, tanpa aktifitas yang memacu adrenalin ataupun imajinasiku untuk bekerja.

Lalu lalang orang di dalam bandara tak kuhiraukan. Mampir di salah satu outlet oleh-oleh di dalam bandara. Membeli satu bungkus rokok, satu kotak minuman ringan, membayar airport tax, asuransi jiwa, lalu aku mulai berjalan menuju transit room B6, sambil sesekali membalas sms yang masuk. Ada yang menanyakan sudah sampai atau belum lah, ada yang minta dikabari jika aku sudah sampai tujuan, ada yang menanyakan angka deal terakhir dengan supplier di salah satu proyek kantor bulan depan, bahkan ada yang menanyakan dimana aku simpan STNK mobil operasional kantor. Hehe, benar-benar hidup yang hiruk pikuk, sebenarnya lebih tepat dibilang kacau dan tumpang tindih tak karuan, hehe.

Akhirnya, bisa juga aku duduk di Smoking Area depan B6, menyelonjorkan kedua kakiku lepas, sambil bertopang di ranselku yang sudah setia menemaniku selama 4 tahun terakhir perjalananku ini. Kupilih sudut yang paling temaram, dekat dengan pot bunga dimana aku bisa membuang limbah debu rokokku disitu, dan mulailah aku memulai ritual merokok sebanyak-banyaknya. Yeah, nikotin ini memang telah merajai rongga-rongga hidupku, menghabiskan raga badanku sedikit demi sedikit. Terbayang celana jeansku bernomor 30 yang kini teronggok di sudut lemari pakaianku tanpa aku sudi memakainya lagi. Badanku makin tipis, makin kering, makin kecil dengan sedikit balutan daging di atas tulangnya. Damn, who care, batinku.

Kubuka N95-ku, lalu iseng kutulis sebuah puisi, penyakit yang sudah sejak dulu tak pernah bisa kutinggalkan. Nampaknya Tuhan memang telah menakdirkan sepuluh jari tanganku ini untuk selalu mengeluarkan sejuta kata dari setiap gerakannya di atas kertas maupun di tuts computer, dan sekarang, di atas tuts handphoneku. Kupandang sekelilingku, orang-orang itu tak ada yang kukenali. Aku sendiri lagi, batinku. Perlahan mulai kutulis, tenang, namun pasti. Kuberi judul sesuai dengan kalimat pertama yang terlintas di dalam benakku.

“ Aku, Membayangkan Diriku Sebagai Sebuah Kesendirian… “

Aku membayangkan diriku sebagai sebuah kesendirian
Cuma bayangan saja yang setia menemani langkahku
Tak berumah dan hanya berjalan menuju ketiadaan tujuan
Menapak dalam kegelapan dan keterbatasan pandangan mata

Aku membayangkan diriku sebagai sebuah kesendirian
Jauh dari gurauan dan omongan basi yang membosankan
Aku ada di menara yang tinggi dimana aku bisa melihat diriku sendiri yang kerdil berjalan sendiri jauh di bawah sana di dalam sunyinya kegelapan malam
Lelah
Dan sakit
Jiwaku datar
Tak bersemangat
Ada di hatiku
Kurasa juga ada di hatimu
Ada di jiwaku
Kurasa juga ada di jiwamu
Kesendirian itu
Bagai bintang yang menempel malam
Di setiap langkahku
Di setiap hembus nafasku…

Lama aku terdiam, tak melakukan apa-apa, membayangkan semua peristiwa yang telah terjadi, disini, di bandara ini. Mulutku menggumam, lirih, “ Datanglah wahai penerbanganku…”

“ Masih di bandara yang sama…
Aku sendiri… lagi… “

( Jakarta, bandara soekarno hatta, menunggu delay 50 menit, 13 november 2008 )