Selasa, November 25, 2008

Berkemas Untuk Perjalananku Esok Hari

Membayang sejuta peristiwa
Juga segenggam harapan yang akan kutemui nanti
Di depan, di esok hari - hariku
Membuatku berkemas sepagi mungkin
Bertolak lepas sebelum dingin sang embun terjaga dari tidurnya

Semua jiwa – jiwa yang bebas merdeka
Aku datang lagi
Menghirup aroma kebebasan-Mu
Menepis semua pesona alam-Mu
Aku tak mau jatuh lagi
Aku tak mau tersangkut duri lagi
Yang menjalar sepi seakan minta kutemani

Tidak hari ini
Tidak juga esok pagi
Karena aku mau terus berlari
Menjemput masa depanku sendiri
Membuatku merasa seperti terlahir kembali
Untuk mengulangi hari – hari kemarin
Yang pernah gagal kujalani
Ya, aku ingin kembali kecil lagi
Menjalani indah hari – hariku sendiri
Tak peduli siapa mau bilang apa
Aku akan tetap tersenyum
Manis, teramat sangat manis…

Karena hari ini, adalah hariku sendiri…
Karena hidup ini, adalah hidupku sendiri…

Bersama sepi, bersama mimpi, aku terus riang bernyanyi…

( Tak ada yang mampu membuatku berhenti berkelana, kecuali senyum-Nya Yang Maha Sempurna… )

Kesendirian Yang Sempurna...

Malam ini gelisahku memuncak
Mengiris – iris setiap detik perjalanan waktuku
Berdentam – dentam keras di telinga
Memaksaku jadi gila mencari serpihan – serpihan akal sehat yang masih mampu kugenggam

Aku tak bisa tidur lagi
Nyaris sama dengan malam – malam lain yang pernah kulalui
Kesendirian yang sempurna
Dan anganku mengembara lagi
Mencari – cari arti di sela – sela tulisan ini

Beberapa kalimat singgah dan pergi
Di telinga, di rambut, di hidungku, lalu beberapa tergelincir jatuh
Kutangkapi di antara asap tebal rokokku yang mengejekku di udara
Janganlah kau pergi wahai huruf demi huruf yang tak bernadi
Cuma engkau sahabatku saat ini
Akan kuhembuskan rohku padamu
Agar kau jadi punya arti
Jangan seperti aku yang sekarang tertatih
Mengais arti di timbunan gunung kehidupan-Nya

Aku mencintai kesendirian ini
Begitu damai dalam kesunyian-Nya yang abadi
Kecanduan akan sepi
Berjauhan dengan mimpi
Malam ini, aku berhadapan lagi
Dengan kesendirian yang sempurna…

MENTAL USAHA

Dalam rangka meningkatkan taraf hidup, banyak orang yang memilih jalur independent. Mereka, dengan kekuatannya sendiri, dalam skala besar maupun kecil, membuka usahanya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Di jaman sekarang mereka lazim disebut entrepreneur, kalau jaman dulu waktu Bapak saya masih muda disebut wiraswasta, di KTP biasanya tertulis begitu, hehe. Berbeda dengan profesi pegawai yang tidak ikut serta menanggung konsekuensi logis dari sebuah hasil usaha, maka para entrepreneur ini merupakan pihak yang berhak dan wajib mendapatkan kompensasi positif maupun negatif dari setiap hasil usaha yang dijalankannya. Banyak hal yang dibutuhkan untuk memulai usaha sendiri, yang pasti mental yang kokoh merupakan syarat mutlak yang harus ada. Ibarat sebuah bangunan, maka factor mental ini merupakan dasar atau pondasi untuk pengembangan faktor – faktor penunjang usaha selanjutnya. Jadi, kita tidak perlu berpikir atap plafon dulu kalau lantainya saja belum ada. Njenengan niki jan neko – neko kemawon, hehe ( bahasa Jawa, yang artinya: anda ini kok aneh – aneh saja, hehe ).

Banyak buku yang telah mengulas tentang entrepreneurship ini, terutama setelah buku ciptaan Robert T.Kisoyaki yang berjudul Rich Dad Poor Dad meledak di pasaran ( saya beli buku ini sampai dua kali, dan dua – duanya sekarang entah berada dimana, mungkin di gudang teman – teman saya yang pernah meminjamnya, atau malah sudah di tukang loak, hehe ). Buku ini mengulas tentang bagaimana sikap mental dan pola pikir logis yang semestinya diterapkan dalam pengelolaan asset untuk mencapai kebebasan finansial yang didambakan oleh setiap orang. Sejak saat itu, buku – buku dengan tema serupa, baik dari dalam maupun luar negeri terus bermunculan, bak cendawan di musim hujan, dan yang diuntungkan, tentu saja para entrepreneur yang bisa melihat celah ini sebagai satu peluang bisnis yang bisa ‘dimainkan’. Entah itu dengan seminar lah, dengan pelatihan, dengan event, atau dengan jualan buku itu sendiri. Tuh, cuma dari satu peristiwa saja banyak kan peluang bisnisnya, tergantung siapa yang bisa memanfaatkan momentum bisnisnya ( trik memanfaatkan momentum ini juga salah satu cirri khas yang biasanya dimiliki oleh para entrepreneur ). Tapi, secara global, paling tidak mata bangsa ini jadi sedikit lebih terbuka dan mulai bergairah untuk tidak ragu – ragu lagi mencoba berjuang membuka usahanya sendiri, baik dengan modal nekad, dengan modal dengkul, ataupun cuma bermodalkan buku dan berharap usahanya akan lancar setelah dia membeli buku itu ( tanpa usaha dan doa nampaknya mustahil ya, hehe ). Wallahu alam, semua tergantung usaha dan garis kehidupan masing – masing orang juga, yang jelas niat awalnya baik, mau berusaha.

Saya mengulas masalah ini karena saya juga ingin loh menjadi seorang entrepreneur, walaupun status saya saat ini masih menjadi seorang pegawai swasta. Saya membayangkan bagaimana nikmatnya menjalankan usaha sendiri, termasuk kebat – kebitnya hati ini saat menghadapi segala macam resiko, juga saat hampir dapat untung dari usaha tersebut, rasanya pasti seperti orang mancing yang kailnya kesangkut ikan, hmm. Hal – hal seperti itu mungkin tak terbayar begitu saja dengan tingkat keuntungan besar yang kita harapkan, tapi kepuasan batinnyalah yang bisa membuat kita bertahan. Faktor mental yang saya sebutkan di atas tadi yang menentukannya, atau semuanya justru malah akan menjadi siksaan batin bagi kita sekiranya kita memaksakan ketidaksiapan kita ketika memulainya. Jadi intinya, sebelum mulai, pikirkanlah semuanya masak – masak. Bukannya saya menakut – nakuti, tidak ada orang yang merencanakan untuk gagal, tapi rata – rata mereka gagal merencanakan, jangan sampai itu terjadi juga pada diri anda.

Berdasarkan ngobrol saya ngalor ngidul dengan beberapa pengusaha muda negeri ini, termasuk abang saya sendiri, saya mengambil beberapa kesimpulan sederhana, sesederhana pola pikir saya tentang dunia entrepreneurship ini. Mungkin inilah hasil minimalis saya tentang apa saja yang harus ada di awal kegiatan usaha swasembada tersebut.

1. Mentalisme usaha yang ulet, gigih, pantang menyerah namun juga penuh perhitungan dan analisa.
Sering kita dikejutkan oleh emosi dan antusiasme yang berlebihan, tanpa mempertimbangkan kekuatan kita, tanpa memperhitungkan faktor internal maupun eksternal yang ada dalam diri kita. Sebelum memastikan start, harus dipastikan terlebih dahulu komitmen kita terhadap diri kita pribadi atas usaha tersebut. Menetapkan target dan standarisasi yang rasional, serta memastikan kesiapan dan kesanggupan kita untuk berkorban meraih target – target yang telah ditetapkan tersebut merupakan tahap perencanaan awal yang paling penting. Kita juga harus menetapkan titik –titik rawan usaha kita berdasarkan perjalanan waktu atau keadaan tertentu yang bisa diprediksi, sehingga itu berfungsi sebagai ‘warning system’ kita untuk memastikan langkah apa yang harus kita ambil sekiranya hal itu benar – benar terjadi.

2. Jenis usaha yang cocok dan sesuai dengan kita, maupun dengan peluang pasar yang ada saat itu.
Kita harus mencari tahu skill apa yang telah kita miliki dan bidang pekerjaan apa yang cukup kita kuasai, dimana hal ini menjadi pedoman utama dalam menentukan jenis usaha apa yang akan kita pilih. Tentunya pekerjaan yang kita senangi lebih berpeluang untuk bisa bertahan, karena biasanya dengan kita sudah suka maka akan ada nilai keikhlasan disitu. Hal itulah yang akan membuat kita terasa lebih ringan dalam menjalani setiap ujian yang datang di depan kita saat menjalankan roda usaha tersebut. Namun juga harus diperhatikan peluang pasar yang ada saat itu maupun beberapa waktu ke depan. Jika kemungkinan perolehan pasarnya sedang tidak bagus, maka ada baiknya kita melihat – lihat jenis bidang usaha yang lain dulu.

3. Tahap perencanaan yang jelas, terukur dan terarah.
Ada baiknya kita melakukan study banding dan survey yang matang plus cermat sebelum kita memulai bidang usaha yang kita pilih. Hal ini bisa meliputi lokasi, kultur budaya kehidupan masyarakat sekitar, celah pasar yang ada, kompetitor, supply bahan baku, proyeksi pasar ke depan, sampai berapa panjang posisi merugi kita hingga mencapai titik BEP ( Break Event Point, impas ). Ini berkaitan erat dengan modal uang yang mau nggak mau harus disiapkan sedari awal. Kalo istilah ndeso-nya ‘mancing duwit yo nganggo duwit’, kalo mau mancing uang ya harus pakai uang juga. Suka tidak suka, inilah dunia kapitalis, kita harus menerimanya. Kita bisa membuatnya lebih efisien dengan penghitungan / kalkulasi biaya yang baik dan benar. Meleset meleset sedikit wajar lah, tapi akurasi disini akan membuat anda berjalan lebih stabil ke depannya. Di awal aja udah luput, apalagi nanti boss, hehe.

4. Strategi produksi dan pemasaran yang jitu dan sistematik.
Ibarat orang main catur, maka setiap langkah kita harus sudah memiliki minimal dua langkah lagi ke depan. Nah, runyamnya, saya gak terlalu pintar main catur, tapi paling tidak anda tau toh, dengan banyak main dan berlatih maka feeling kita pasti akan terasah dengan sendirinya. Semuanya sudah ada yang ngatur kok, bukan cuma kita, tapi juga Yang Di Atas. Satu hal yang malah sekarang jadi pertanyaan saya, apakah Karpov atau Kasparov yang pecatur kelas dunia itu juga mengalami jadi entrepreneur juga atau tidak ya, hehe. Stop, nggak usah main catur dulu, ayo cari strategi yang tepat. Pada prakteknya, ternyata membentuk pasar bukanlah sesuatu yang mudah, untuk beberapa orang ini justru menjadi tahapan yang paling sulit di tahun – tahun awal pendirian usahanya. Ada mitos yang menyebutkan, jika kita berhasil melewati dua tahun pertama usaha kita, maka saat itu kita sedang berjalan menuju tangga kesuksesan kita, kita telah berada di track yang benar. Tapi kita tidak pernah tahu apa yang bakal terjadi di depan, jadi kewaspadaan tetap menjadi factor penting juga yang tak boleh lengah ditinggalkan. Untuk contoh strategi, kita bisa nebeng pasar teman dulu umpamanya, semacam jadi sub gitu lah, sambil terus explore mencari peluang – peluang baru lainnya. Ini satu contoh strategi yang banyak diterapkan.

5. Terus belajar, membuka wawasan baru, dan sekiranya bisa, tak perlu ragu membuka jenis usaha lain yang bahkan tak ada kaitannya dengan bisnis yang sedang kita jalani, selama itu menguntungkan buat kita. Why not, sekecil apapun pemasukannya, itu harus tetap kita hargai. Sedikit – sedikit lama – lama menjadi bukit kan. Siapa tahu usaha sekunder anda malah berbalik menjadi usaha primer anda suatu saat nanti.

Saya cukupkan dulu sampai disini, saya khawatir malah ngelantur, karena saya ini juga asal ngetik aja apa yang sedang terlintas di benak saya saat ini gara – gara nggak bisa tidur, benar – benar tanpa kerangka apapun juga. Yang penting, semangat entrepreneurship tetap harus ada pada diri kita, bahkan yang berstatus pegawai sekalipun, karena kita selaku pegawai pun berkewajiban menghasilkan keuntungan untuk perusahaan tempat kita bekerja. Jadi sebenarnya konsepnya sama, menghasilkan profit. Tanpa mental entrepreneurship maka mustahil hal itu bisa kita wujudkan, yang ada malah jadi benalu, syukur kalau tidak beracun, tapi kalau sudah bekerja saja belum becus trus cuma mengeluh melulu tentang fasilitas kantor, cerita miring sana sini tentang rahasia dapur manajemennya sendiri ke pihak luar, nah itu yang bahaya tiga belas. Ketika kita jadi apapun, maka lakukanlah itu dengan keikhlasan dan dedikasi tinggi, maka karunia Tuhan akan selalu bersama anda, percayalah. Pernah saya membaca, sekiranya menjadi seorang tukang sapu jalanan pun, maka menyapulah layaknya seorang Picasso melukiskan kuasnya di atas kanvas, sesempurna dan sebaik mungkin. Semua karya anda adalah masterpiece untuk diri anda sendiri, dan juga untuk umat manusia di kehidupan ini.
Untuk tambahan, saya ini kok percaya pada ungkapan, yang penting nasinya dulu, kalo nasinya udah ada maka barulah kita mikirin lauk pauknya. Janganlah kita tergoda oleh suatu hasil yang besar, tapi tidak memikirkan faktor keamanan untuk kehidupan kita yang sedang dan sudah berjalan. Nanti yang ada malah bukannya dapat ikan sepuluh, tapi justru kehilangan dua ekor ikan yang sudah ada dalam genggaman. Yang terbaik menurut hemat saya adalah, pastikan kita aman dulu untuk standart hidup kita, barulah setelah itu kita masuk ke level berikutnya, mencoba menjadi entrepreneur sejati. By the way, informasi terakhir, untuk saat ini ternyata bukan cuma 'waktu' lagi menjadi asset potensial internal kita, tapi juga 'energi'. Ya, biarpun waktu kita sedikit, tapi kalau energi kita cukup maka kita akan bisa berbuat lebih banyak lagi untuk meningkatkan taraf hidup kita. Tetap bersemangat, dan pastikan daya tahan kita tetap tangguh, baik lahir maupun batin, untuk bisa mencapai apapun tujuan kita.

Untuk para entrepreneur yang sudah lebih dulu mengarungi cakrawala dunia wirausaha, semoga berkenan berbagi ilmu dan wawasan dengan kami – kami yang masih “belajar untuk terbang”.

Salam sukses selalu.

Tetap semangat.

Stairway To Heaven…

Perjalananku menuju Surga
Begitu terjal, begitu berliku
Seperti mencari sebuah jalan yang tak nyata
Sering kubertanya pada diriku sendiri
Apakah niat dihatiku sudah benar adanya
Beramal ibadah karena Surga, atau karena Allah ?

Hati kecilku menjawabnya, tapi dia tak mengeluarkan suara…

( Palembang, 23 november 2008, Tuhanku, tunjukkan jalan untukku, jalan yang lurus dan Kau-ridhoi… )

Untuk Mamaku Yang Ada Di Surga

Wahai Mamaku yang ada di surga
Betapa sakitnya hati anakmu malam ini
Sampai – sampai kumerasa
Lebih tak berguna daripada segumpal sampah
Lebih tak berarti daripada seonggok kotoran
Betapa aku dikecilkan
Betapa aku dilecehkan
Oleh kehidupan
Yang tak pernah bisa kumengerti ini

Mamaku sayang
Apa yang harus kulakukan
Setelah semua upaya yang telah coba kulakukan
Menjalankan dharmaku sebaik mungkin
Seperti sang surya mengikuti takdirnya yang harus selalu tenggelam di ufuk barat
Mungkin terkadang aku lengah dan alpa
Mungkin terkadang aku letih dan lalai
Tapi aku selalu ingin ada kebaikan
Tapi aku selalu ingin ada kata ‘saling’ dalam hidup ini
Betapa aku ingin tak perlu punya keinginan lagi
Sekuat tenaga ingin kuredam dia dan kupendam di dalam dada
Kutahu semua asa yang tak mungkin terwujud justru akan membunuhku
Akan menghisap habis semua gelora hidupku
Dan aku tak mau itu terjadi
Karena aku ingin selalu ada
Untuk mengenangmu
Untuk menjadi kebanggaanmu
Sekarang, maupun nanti, saat kita bersatu lagi…

Mamaku sayang
Ada saat aku lelah
Ada saat aku tak tentu arah
Dan ketika itu terjadi, aku ingin semuanya berjalan dengan lembut
Berjalan begitu suci dan murni seperti halnya kelembutanmu dulu
Karena aku yang sekarang masih anakmu yang kecil dulu
Yang bahagia melihat anak – anak kecil tertawa bahagia
Jiwaku meronta lepas dari wadahnya
Ingin bermain lepas juga tanpa mau tahu lagi
Semua sakit yang telah kutelan sendiri selama ini tanpamu…

Mamaku sayang
Dekatlah denganku saat ini
Hatiku sakit, sangat sakit
Aku ingin pergi, tapi jiwaku tak pernah bisa
Semoga semua berjalan lebih baik di esok hari
Cuma itu harapanku Ma
Dampingi aku, disini, dekat di hatiku…

Aku sayang Mama, selamanya…

( Untuk Mama di surga, betapa aku sangat merindukanmu… )

Masuk Gigi Netral Hidupku

Setiap kali pertempuran usai
Setiap kali pesta berakhir
Setiap kali semua suara bising yang memekakkan telinga itu terhenti
Saat itu pulalah terasa ada sesuatu yang hilang
Begitu sepi dan mencekam
Begitu sunyi dan dingin tak terperi
Seperti ada getaran magis yang memaksaku untuk menghentikan langkahku
Menghentikan laju pikiranku
Membawa perasaan ke dalam sebuah suasana yang aneh
Sesuatu yang tenang tapi tidak juga tenang
Sesuatu yang damai tapi tidak juga damai
Sesuatu yang nyaman tapi tidak juga nyaman
Seperti melaju di atas sepeda motor tapi tak memasukkan persenelingnya
Aku masuk gigi netral hidupku
Tetap melaju tapi tanpa sebuah tekanan apapun
Masih berpacu tapi tanpa melakukan gerakan apapun
Saat itu batinku mulai resah mencari – cari
Liar dalam setiap liukan terkecilnya
Di otakku
Di dalam dengus pikiranku
Aku ingin segera berpindah gigi lagi
Aku tak mau terlalu lama berkubang disini
Di setiap gigi netral hidupku…

Kebebasan Yang Kucari

Kenapa hidup tidak berjalan sesuai dengan yang kuharapkan ?
Kenapa mendung hitam bergantung di awan begitu lama ?
Hingga anginpun enggan berbagi segarnya denganku ?

Apakah aku yang salah ?
Mengamati liang semut dari puncak menara yang tinggi ?
Mencari sarang madu di dasar samudera yang dalam ?
Merindukan sinar mentari di malam hari ?
Apa yang salah dalam diriku ?

Perlahan Sang Pemahaman datang
Menghampiri dengan ketenangan yang bersahaja
Dia tentramkan jiwaku dan dia bisikkan satu kata padaku
“Persepsi… “
Itu adalah semua yang ada dalam pikiranku, semua yang ada dalam perasaanku
Yang ternyata cuma mengacu pada sesuatu yang tak nyata
Pada nafsu yang semu
Pada harapan yang kabur
Pada keinginan yang tak tentu
Betapa aku melihat hal yang positif dari kacamata cakrawala negatifku
Betapa aku melihat hal yang negative dari kacamata cakrawala positifku
Terbolak baliknya aku oleh permainan emosi dunia ini

Sang Pemahaman menyuruhku duduk di sampingnya
Dia ajarkan padaku tentang arti sebuah kebebasan
Kebebasan dari semua kenyataan pahit yang mencekam
Kebebasan yang telah lama kucari selama ini
Hingga membuatku berkunjung ke semua istana kegelapan
Hingga membuatku berkunjung ke semua medan pertempuran
Namun kebebasan itu tak jua tampak
Dia ibarat semua kenyamanan yang berbaur dengan keindahan abadi
Dimana ketenangan jiwa bertahta menjadi rajanya
Kemana harus kucari ?

Sang Pemahaman tersenyum sangat manis, dan berbisik lagi
Di Khaliq-mu Yang Maha Besar
Yang Maha Menguasai Alam Semesta ini
Yang berhak dan mampu menghentikan setiap hembus nafasmu itu kapanpun Dia mau
Disitulah harus kaucari
Semua kunci yang membebaskan semua belenggu rantai dan pintu penjara duniawi ini
Agar kau hidup dalam kebebasanmu sendiri
Sekarang lihat dirimu
Mengapa justru sebaliknya, dimana kau menjadi budak dari semua itu
Engkau dihempaskan, dilemparkan, engkau dipaksa mencandunya
Engkau wajib berupaya, tapi usaha dan doa adalah dua sisi yang berbeda di satu uang logam yang sama
Engkau tidak bergantung pada semua kemewahan dan kilau gemerlap semu itu
Engkau cuma bisa bergantung pada Penciptamu
Setiap gerakanmu yang terkecil sekalipun harus bertumpu pada niatmu untuk mengambil hati-Nya
Dengan tulus, dan suci
Dengan ikhlas, dan sepenuh hati
Dan, tanpa apapun, hatimu akan selalu cerah, senyuman akan selalu tersungging di bibirmu
Itulah kebebasanmu, di dunia ini, dan kelak di akherat nanti

Aku tercenung
Tak menyadari bayangan Sang Pemahaman yang perlahan mulai menghilang
Semua itu menjadi bahan pemikiranku yang tak berujung
Hingga akhir masa nanti
Akhirnya baru kusadari
Ujungnya memang berada di tangan Sang Khaliq
Sang Pencipta Yang Maha Besar
Sang Pemusnah Yang Maha Besar…

Kebebasan yang kucari, tak ada disini…
Kebebasan yang kucari, cuma ada di kerajaan-Nya yang abadi…

( Palembang, 22 november 2008, berkahilah kebebasanku yang cuma ada pada-Mu, dan terimalah permohonan ampunku… )

DHARMA, SATU KATA YANG KEDALAMANNYA MELEBIHI DALAMNYA SAMUDRA

Di suatu sore yang mendung, langkah kaki saya terbawa ke satu tempat di Jakarta yang biasa disebut Senen. Sebenarnya itu memang tidak saya rencanakan, karena tujuan awal saya adalah ke Kemayoran, menyambangi rumah produksi salah satu kolega bisnis perusahaan tempat saya bekerja, untuk persiapan satu proyek yang sedang kami tangani bersama. Karena jalurnya lewat Senen, maka saya putuskan untuk mampir sebentar mengisi perut yang sudah keroncongan sejak berangkat tadi.
Setelah mengisi perut di Atrium Senen, entah kenapa saya naik melintasi jembatan penyeberangan menuju Pasar Senen di sisi seberang jalan sana. Masuklah saya ke arena penjualan buku-buku bekas, dan saya merasa jadi seorang musafir kehausan di padang pasir yang menemukan sebuah sumber mata air segar. Mata saya berkilat-kilat menyaksikan tumpukan buku-buku usang maupun baru di depan mata saya. Beberapa pedagang sudah mulai menyodorkan buku-buku mereka, tapi saya terus berjalan menyisir setiap judul buku yang ditumpuk rapi di setiap kios, satu demi satu, walaupun tidak ada satu judulpun yang terlintas di benak saya untuk saya cari saat itu. Sekedar melihat-lihat saja, siapa tahu ada yang bagus, batin saya. Sebenarnya saat itu otak saya sedang penuh dengan pertanyaan tentang manajemen system, berkaitan dengan pekerjaan saya, dan ada kecenderungan untuk mencari buku yang berkaitan dengan itu.
Menginjak kios kelima, pandangan mata saya terpaku pada sebuah buku yang memiliki judul dengan background hitam di sisi samping sampulnya. Saya baca judulnya. “Thick Face Black Heart…,” gumam saya setengah tak percaya, rasanya sangat girang seperti anak kecil menemukan mainannya yang telah lama hilang. Betapa tidak, buku ini sudah pernah saya pegang di Gramedia sekitar 2 tahun yang lalu, tapi urung saya bawa ke kasir karena kalah oleh beberapa buku lain yang saya putuskan untuk saya beli waktu itu. Tapi saya sempat bicara pada diri saya sendiri sekeluarnya dari sana, “Aku harus punya buku itu.” Ya, itu buku yang wajib saya miliki, suatu saat nanti. Dan, sekarang, buku itu ada di depan saya. Saya menemukannya lagi, di tempat dan waktu yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Tanpa pikir panjang, saya cek kondisinya, mulus, masih bagus. Tawar menawar harga, cocok, bayar, lalu saya segera meninggalkan tempat itu. Saya memang punya prinsip untuk tidak membeli lebih dari satu buah buku dalam satu waktu yang bersamaan. Biasanya, jika dibeli juga, maka tidak semuanya bisa terbaca dengan tuntas, atau parahnya, semuanya justru tidak terbaca sama sekali karena keterbatasan waktu dan energy saya. Satu buku ini sudah lebih dari cukup untuk saat ini, batin saya. Dengan ketebalan 301 halaman, buku ini akan cukup menyibukkan saya satu minggu ke depan.
Dan waktu terus berlalu, buku itu ternyata baru bisa terbaca 2 bulan kemudian, setelah terbawa kesana kemari dalam setiap kegiatan saya, dan otomatis menghabiskan sebagian space dalam tas saya, bahkan kadang di dashboard mobil saya, menggeletak kepanasan terpanggang sinar matahari dan menggerutu sendirian. Akhirnya, saat sedang menunggu loading barang dalam satu persiapan event exhibition kami, di waktu jeda itu mulailah saya membuka lembar demi lembarnya. Satu bab, dua bab, saya lalu menutupnya lagi, memberinya pembatas dan memasukkannya dalam tas karena pekerjaan telah memanggil saya saat itu. Dan, dua minggu setelah itu, tepatnya malam ini, saya berhasil merampungkan bab tiga dan bab empat. Nah, materi di bab-bab inilah yang akan saya bahas, karena menurut saya ini sesuatu yang sangat dashyat dan benar-benar menginspirasi saya. Judul bab itu, “Dharma: Pohon Pemenuhan Permohonan.”

DHARMA: POHON PEMENUHAN PERMOHONAN.
“Dharma adalah dasar penunjang kehidupan.” ( Mahabharata )
Kata Dharma berasal dari Bahasa Sansekerta, bahasa tertua di dunia, yang berasal dari India kuno. Dharma berasal dari kata dhar, yang artinya mendukung, menegakkan, memelihara. Jadi Dharma sering didefinisikan sebagai hal yang menunjang kehidupan. Kekuatan yang menopang dunia, koherensi antara alam semesta.
Dharma adalah pemahaman tindakan yang sesuai dengan keadaan yang sedang berlangsung. Ini berarti “bertindak sesuai dengan kewajiban seseorang”. Setiap orang memiliki Dharma yang berbeda-beda dalam kehidupan, sesuai dengan peran yang diembannya. Dharma seorang prajurit adalah melawan musuh bangsanya, Dharma seorang dokter adalah menyelamatkan nyawa pasiennya, terlepas dari semua kondisi dan hambatan yang dimilikinya saat itu, misalnya istri prajurit itu sedang hamil tua ketika perang meletus, atau dokter itu harus menyelamatkan nyawa musuhnya sendiri. Tidak ada pilihan, Dharma harus tetap dijalankan. Bahkan, seorang pencuri pun adalah hamba Tuhan yang sedang menjalankan Dharmanya, menjalankan perannya dalam kehidupan ini. Dengan Dharma, kita bisa memahami posisi kita saat itu dan menentukan sikap ataupun tindakan untuk berlaku sesuai dengan Dharma yang kita miliki. Jika Dharma dipatuhi, maka kehidupan akan berjalan dengan selaras dan seimbang. Kita akan bisa menerima kehidupan sebagaimana adanya dan melaksanakan kewajiban sesuai dengan itu, sekuat tenaga sesuai dengan kemampuan kita. Dharma menuntut keikhlasan, keberanian dan kejujuran. Semangat mencari kebenaran menjadi rohnya, dan pertanyaan yang selalu ada dalam setiap situasi adalah, “Apa Dharmaku saat ini?”
Seorang Arjuna dalam perang Bharatayuda pun mengalami perjalanan Dharmanya. Sebagai seorang ksatria maka dia harus membunuh saudara-saudara sepupunya sendiri dari klan Kurawa. Pertentangan batin hebat melanda dirinya, dimana ajaran-ajaran kasih sayang yang didapatnya selama ini seolah harus dicampakkannya demi sebuah perebuatan tahta dan kerajaan. Seorang titisan Dewa yang saat itu menjadi kusir untuk kereta perang Arjuna, sang Batara Khrisna, memberi nasehat kepadanya agar menghilangkan rasa kasih sayang yang semu. Arjuna harus maju berperang tanpa amarah dan nafsu angkara murka, bukan untuk sebuah tahta ataupun kerajaan, namun untuk memenuhi kewajiban bagi diri sendiri maupun bagi negaranya. Arjuna harus menjalankan Dharmanya, aturan alami kehidupannya. Semua berjalan mengikuti hukum alamnya, dan di akhir perang itu, Pandawa tetap utuh 5 orang, sedangkan Kurawa yang berjumlah 100 orang seluruhnya binasa.
Kita semua adalah ksatria, dan kehidupan ini adalah pertempuran yang abadi. Kita tidak perlu menyukai pertempuran itu, tapi yang terpenting adalah, kesanggupan kita untuk bertempur. Itu yang terpenting, dan pilihannya ada pada diri kita sendiri. Untuk bisa bertahan dalam kehidupan, kita harus menghadapi sifat negative batiniah dan realita dunia nyata. Pada kenyataannya, tidak ada yang gampang ataupun sulit. Kompetisi untuk bertahan hidup sudah menjadi kondisi kehidupan. Sudah menjadi Dharma kita untuk menjalankan pertempuran hidup secara benar dan ksatria.
Memang tidak mudah menemukan tindakan yang benar pada setiap saat kehidupan kita yang sesuai dengan Dharma kita. Bahkan kadang kita tak tahu pasti apa Dharma kita saat itu. Kita akan melewati tahap-tahap trial and error, gagal dan coba lagi. Tapi apapun jenis pekerjaan anda, anda akan berhasil jika anda mampu menunjukkan Dharma anda bagi pekerjaan itu. Sebuah kursi memiliki Dharma untuk rela diduduki, dengan begitu maka ia jadi berguna untuk kehidupan ini. Sebatang pensil atau seekor kambing, hanya akan berguna jika mereka menjalankan fungsi sesuai Dharmanya dengan benar. Dan untuk itu, Dharma membutuhkan apa yang dinamakan daya tahan. Dharma juga membutuhkan upaya atau usaha, karena langit tak akan terkuak dengan sendirinya jika anda tidak membukanya. Takdir membutuhkan upaya. Takdir dan upaya adalah dua sisi berbeda di satu uang logam yang sama. Surga akan menolong orang-orang yang menolong diri mereka sendiri.

“Segenap usaha itu suci bagi-Nya,
Di antara orang yang paling negative, tolol dan bodoh, serta yang paling positif, percaya diri dan yakin, hanya terbentang sedikit jarak hingga Sang Pencipta kita hanya menanggapinya dengan senyuman.”
( Chin Ning Chu – diilhami oleh Elizabeth Waterhouse )

Pengarang buku Thick Face Black Heart adalah Chin Ning Chu, seorang wanita keturunan China yang hidup di Amerika, merintis karirnya dari nol disana, hingga saat ini memiliki profesi sebagai Presiden Direktur Asian Marketing Consultants, Inc., juga Direktur Eksekutif RIM Master Group. Buku sebelumnya yang sudah pernah dibuatnya dan menjadi best seller adalah The Chinese Mind Game. Seorang wanita hebat yang telah berhasil mengendalikan semua rasa takutnya dan merubahnya menjadi sebuah alat untuk meraih kesuksesannya.
Mungkin perjalanan saya ke Senen adalah sebuah takdir saya dalam menemukan buku ini, dan posisi saya saat ini juga adalah Dharma yang memang harus saya jalani dengan baik, dengan semangat dan keikhlasan tinggi. Saya menulis ini juga Dharma, dan saya juga masih tak habis pikir, apakah juga memang sudah menjadi Dharma anda ketika anda kok jadi ikut baca tulisan ini sekarang, dalam salah satu waktu di kehidupan anda yang panjang ini, hehe. Semoga bermanfaat, itulah sekilas pandangan tentang Dharma, hukum alam yang menuntun kita pada kebenaran dari tindakan kita.
Setialah pada kehidupan anda, pada hasrat anda sendiri.
Cia yo, tetap semangat.

Sabtu, November 22, 2008

Wahai Jiwa Yang Gelisah

Wahai jiwaku yang gelisah
Sampai kapan kau akan membuatku terus begini
Bergumul dengan angan - angan yang tak pasti
Berkutat dalam lingkaran pusaran waktu
Berkutat dalam celotehmu
Yang sudah kubilang aku tak pernah mengerti

Wahai jiwaku yang tak pernah lelah berkelana
Sudikah kauijinkan aku tuk beristirahat sejenak
Meletakkan semua luka yang mendera
Dalam pencarian kasih sayang tak bertepi ini
Kurang ajar, shit, kau malah tertawa

Demi rinduku pada sebuah bayangan
Dimana anganku hangat bersandar
Demi resahku pada sebuah harapan
Tempat aku singgah ketika lelah dan kalah
Demi sebuah mimpi yang terus bergentayangan
Yang memaksaku tidur tanpa pejamkan mata

Tak kuasa untuk berlari
Dari semua yang membuatku melolong sepi
Dari semua yang membuatku bersimpuh nyeri
Sendiri...

Puisi Demi Puisi Kosong

Kenapa tangan ini tak mau berhenti merangkai puisi
Membuang waktuku
Membuai benakku ke alam tak tentu
Semua hal yang tak pernah ada maknanya

Kenapa jendela jiwaku tak kunjung terbuka
Membiarkan cahaya alam masuk menghangati
Menyinari sudut - sudut gelap yang sepi
Yang dingin dan tak pernah mau mengerti

Seonggok puisi - puisi usang sudah lapuk dimakan usia
Di rongga - rongga batinku yang menjerit minta diisi
Pengertian dan kasih sayang
Seperti anak kecil yang bingung mencari jalan pulang
Aku termangu
Untuk apa aku merajut puisi lagi ...?

Terbangun dari lelahku
Angin utara menerpaku
Mengeringkan semua cairan di syarafku
Menyedot lagi semua kesadaranku
Dan, seperti air sungai yang mengalir
Puisi kosong itu muncul lagi...

Mungkin memang sudah takdirku
Untuk terus menulis puisi
Sampai akhir waktuku nanti...

( Palembang, 22 november 2008, teriring salam untuk Gola Gong, untuk Balada Si Roy-nya, yang menginspirasi masa mudaku, untuk membuatku jadi tolol seperti ini... )

Ke Rumah Tuhan

Di tengah gersang jiwaku, termangu aku mencari kata "pulang"
Rumah ?
Pulang ?
Belum pernah kurasakan hangatnya pulang

Ya, pulang
Ke rumah Tuhan
Kesanalah aku akan pulang...

MAE 1

Masihkah engkau disitu
Memandangi tulisan - tulisanku
Yang kutorehkan semampuku
Dengan tetes - tetes anyir darahku

Masihkah engkau disitu
Menerawang enggan ke masa lalu
Tempat dimana semua langkahku terhenti
Tertambat ribuan kata
Yang dulu pernah kauucapkan padaku

Masihkah engkau disitu
Harusnya aku benci untuk mengucap rindu
Tapi kehidupan berikutnya masih menunggu
Di kehidupan setelah kehidupan ini
Untuk sekeping ketidakpuasan sejarah di masa lalu
Aku akan mencarimu...

Beribu Peristiwa Akan Kaulalui...

Anakku
Beribu peristiwa akan kaulalui
Beribu hikmah akan kauresapi
Dalam hidup ini memang banyak yang tak pasti
Kuhitung jumlahnya sejuta, tapi ternyata itu cuma sebagian kecil dari kumpulan mereka
Yang bersembunyi di dalam rongga - rongga gelap jiwamu

Godaan ujian dan cobaan sudah pasti akan menghampirimu
Ketika kau berhasil menyelesaikan satu maka janganlah cepat tersenyum
Karena yang kedua akan datang bersama yang nomor tiga, empat, dan seterusnya
Tapi, tetaplah tegar, seberat apapun itu
Karena aku tak akan membiarkanmu sendiri
Dalam setiap langkahmu, bayanganku kan slalu mengiringi
Mengantarmu
Membesarkan hatimu
Membasuh perih lukamu
Sampai kau mampu menapaki
Jalan - jalan dingin gelap dan sunyi seorang diri...

Awanku Tebal

Awanku tebal
Mendungku besar
Mengaca pada jendela
Jiwa rapuh yang berkelana

Mampukah kau menjadi diriku
Yang diperbudak sepi karena tak mau keji
Tak bisa membunuh bayangan yang selalu menghantui
Berharap dia mengerti dan selalu ada disini

Mungkin kaubilang aku ini sapi
Mungkin kaubilang aku ini mimpi
Mungkin kaubilang aku ini tak bisa menyadari
Tapi akan kuberikan padamu satu kata yang paling tepat untuk kausemburkan padaku
Aku ini orang yang sudah mati
Ada di hamparan padang pasir sunyi yang tak bertepi

Lalu aku bertanya pada sapi
Siapakah yang bisa mengerti ?
Dia tak mengerti
Aku menatap ke sebuah batu, berharap dia menyelaku
Tapi diapun juga tak mengerti
Lalu entah kenapa angin dari Surga berhembus di telingaku
Ya, sekarang aku tahu pasti
Yang bisa mengerti
Ternyata cuma diriku sendiri...

Air Mata Adalah Jembatan

Air mata adalah sebuah jembatan
Menuju istanamu yang telah lama menantimu
Menyeret semua perih lukamu
Diringi alam yang bersaksi
Atas kuatnya jiwa yang rapuh
Menahan semua keras peristiwa

Sungai yang diseberangi adalah sebuah cermin tanpa bingkai
Yang menampar jiwamu agar tersadar
Bahwa semua perjalanan akan mampu dilalui
Selama ada doa
Selama ada ikhlas
Selama ada tabah
Selama ada jiwa lurus yang tenang

Semua anugrah dan kasih sayang
Bagi mereka yang pipinya tak pernah kering terlewat air mata
Tapi hati kecilnya selalu berkata
Air mata hanyalah sebuah jembatan... kehidupan...

Rabu, November 19, 2008

Satu Babak Di Salah Satu Penerbanganku


“ Ya Pak, pesawat delay 50 menit.”

Shit. Ucapan pramugari itu membuatku memaki kesal. Terbayang perjalananku yang nyaris liar menuju bandara tadi, tubruk sana tubruk sini, pamit sama bosku di kantor sambil setengah berlari waktu keluar dari ruangannya, kebut-kebutan melanggar beberapa rambu lalu lintas, dan yang terparah, flashdiskku yang berisi data-data kerjaan penting paling update ketinggalan di CPU computer.

“ Oh, ok,” jawabku singkat.

“ Apakah ada bagasi Pak?,” tanya sang pramugari ramah setelah melakukan pengecekan dan pendataan check in passenger dari tiketku.

“ Tidak, terima kasih,” jawabku lagi sambil menghentakkan tas ranselku lebih rapat ke lekukan atas punggungku.

Perjalananku pulang kali ini memang benar-benar meminimalisasi barang bawaan di dalam tasku. Dengan satu buah laptop, berkas-berkas kerja, dan beberapa buku saja, tas ransel 50 kilogramku ini sudah terasa sangat memberatkan beban di pundakku yang semakin hari semakin bungkuk saja rasanya.

Huh, masih sangat lama. Jam tanganku menunjukkan pukul 18.35 WIB. Jiwaku mulai terasa kosong, membayangkan liburan panjang yang akan kujalani di rumah.

“ Liburlah dulu barang satu bulan, “ ucap bosku di satu malam di dalam mobil, beberapa hari lalu saat kami pulang bersama setelah meeting dengan salah satu client.

Satu bulan? Busyet, lama sekali, satu minggu saja sudah cukup bagiku untuk melepaskan penat di otakku ini. Tak terbayang betapa kosongnya hari-hariku tanpa deadline dan tekanan dari berbagai pihak, seperti yang selama ini kujalani di Ibukota. Hehe, mungkin aku termasuk kategori orang aneh yang tidak terlalu menyukai kekosongan, tanpa aktifitas yang memacu adrenalin ataupun imajinasiku untuk bekerja.

Lalu lalang orang di dalam bandara tak kuhiraukan. Mampir di salah satu outlet oleh-oleh di dalam bandara. Membeli satu bungkus rokok, satu kotak minuman ringan, membayar airport tax, asuransi jiwa, lalu aku mulai berjalan menuju transit room B6, sambil sesekali membalas sms yang masuk. Ada yang menanyakan sudah sampai atau belum lah, ada yang minta dikabari jika aku sudah sampai tujuan, ada yang menanyakan angka deal terakhir dengan supplier di salah satu proyek kantor bulan depan, bahkan ada yang menanyakan dimana aku simpan STNK mobil operasional kantor. Hehe, benar-benar hidup yang hiruk pikuk, sebenarnya lebih tepat dibilang kacau dan tumpang tindih tak karuan, hehe.

Akhirnya, bisa juga aku duduk di Smoking Area depan B6, menyelonjorkan kedua kakiku lepas, sambil bertopang di ranselku yang sudah setia menemaniku selama 4 tahun terakhir perjalananku ini. Kupilih sudut yang paling temaram, dekat dengan pot bunga dimana aku bisa membuang limbah debu rokokku disitu, dan mulailah aku memulai ritual merokok sebanyak-banyaknya. Yeah, nikotin ini memang telah merajai rongga-rongga hidupku, menghabiskan raga badanku sedikit demi sedikit. Terbayang celana jeansku bernomor 30 yang kini teronggok di sudut lemari pakaianku tanpa aku sudi memakainya lagi. Badanku makin tipis, makin kering, makin kecil dengan sedikit balutan daging di atas tulangnya. Damn, who care, batinku.

Kubuka N95-ku, lalu iseng kutulis sebuah puisi, penyakit yang sudah sejak dulu tak pernah bisa kutinggalkan. Nampaknya Tuhan memang telah menakdirkan sepuluh jari tanganku ini untuk selalu mengeluarkan sejuta kata dari setiap gerakannya di atas kertas maupun di tuts computer, dan sekarang, di atas tuts handphoneku. Kupandang sekelilingku, orang-orang itu tak ada yang kukenali. Aku sendiri lagi, batinku. Perlahan mulai kutulis, tenang, namun pasti. Kuberi judul sesuai dengan kalimat pertama yang terlintas di dalam benakku.

“ Aku, Membayangkan Diriku Sebagai Sebuah Kesendirian… “

Aku membayangkan diriku sebagai sebuah kesendirian
Cuma bayangan saja yang setia menemani langkahku
Tak berumah dan hanya berjalan menuju ketiadaan tujuan
Menapak dalam kegelapan dan keterbatasan pandangan mata

Aku membayangkan diriku sebagai sebuah kesendirian
Jauh dari gurauan dan omongan basi yang membosankan
Aku ada di menara yang tinggi dimana aku bisa melihat diriku sendiri yang kerdil berjalan sendiri jauh di bawah sana di dalam sunyinya kegelapan malam
Lelah
Dan sakit
Jiwaku datar
Tak bersemangat
Ada di hatiku
Kurasa juga ada di hatimu
Ada di jiwaku
Kurasa juga ada di jiwamu
Kesendirian itu
Bagai bintang yang menempel malam
Di setiap langkahku
Di setiap hembus nafasku…

Lama aku terdiam, tak melakukan apa-apa, membayangkan semua peristiwa yang telah terjadi, disini, di bandara ini. Mulutku menggumam, lirih, “ Datanglah wahai penerbanganku…”

“ Masih di bandara yang sama…
Aku sendiri… lagi… “

( Jakarta, bandara soekarno hatta, menunggu delay 50 menit, 13 november 2008 )

Selasa, November 11, 2008

Ketika Muak Sudah Memuncak...

Dalam kehidupan sehari-hari ternyata tidak semua pemikiran kita bisa dipahami oleh orang lain yang ada di sekitar kita. Saya hidup dengan begitu banyak orang yang sebenarnya merupakan tim kerja saya sendiri, akan tetapi ada saat saya sering merasa sendiri, dan terkucil oleh pemikiran-pemikiran mereka yang “kurang positif” tentang diri saya. Saya berusaha mengakomodir apa yang mereka inginkan, berbuat baik dan baik dan baik, sesuai dengan kemampuan dan kekuatan saya, akan tetapi itu hampir tidak membantu sama sekali, hampir tidak merubah keadaan sama sekali.

Malam ini saya merenung sendiri di depan laptop salah satu bos saya yang dipinjamkan ke saya ( karena beliau baru saja beli laptop baru model terkini ). Hehe, bahkan masalah fasilitas kantor yang diberikan kepada saya ini juga menjadi perbincangan miring mereka terhadap saya (tentunya di belakang saya), dan perlahan, ketika muak saya sudah memuncak, saya mulai mengetik tulisan ini.

Machieveli, dalam bukunya Il Principe, menyatakan bahwasanya kekuasaan memang harus disertai dengan kekerasan, kekejaman, arogansi dan pengekploitasian ketakutan akan ancaman. Semua kebaikan akan berfungsi pada saatnya, akan tetapi stimulasi terbesar untuk hormat dan patuh adalah dengan semua bentuk intimidasi dan penekanan moral yang tak berperasaan.
Pengaruh, apa yang mempengaruhinya ?
- Sikap / attitude yang keji
- Kemampuan pribadi
- Uang untuk ‘membeli’
- Diferensiasi yang tinggi
- Ketergantungan yang tak terbagi
- Strategi
- Dekat dengan kekuasaan tertinggi
- Percaya diri
- Penggunaan tepat emosi
- Ketenangan tak bertepi
Yang terakhir ini dibutuhkan untuk membangun strategi, lalu perlahan-lahan membentuk semua hal lainnya.

Seperti mengemudikan sebuah mobil, tidak pernah ada niat kita untuk bersinggungan dengan kendaraan lain, tapi bisa saja terjadi tiba-tiba kita ditabrak oleh kendaraan lain tanpa permisi. Ketika kita masih mencoba meredam emosi, tau-tau malah kita yang dicaci maki, dibilang tidak becus mengendarai mobil lah, tidak melihat rambu lalu lintas lah, tidak pakai lampu sein ketika belok lah, pokoknyaq semua hal yang ujung-ujungnya cuma bermuara pada kesalahan yang sebenarnya tidak kita buat. Kalau kata salah satu teman bos saya, seperti mencari-cari tulang di dalam sebutir telur, sesuatu yang tidak ada tapi diada-adakan. Ketika ini sudah terjadi, tidak bersalah kita hunus pisau kita, lalu tusuk orang itu, biar dia tidak bisa bersuara lagi, kalau perlu selama-lamanya. Hei bung, kita bukan seonggok sampah yang tidak punya perasaan dan emosi, kita ini manusia yang diciptakan berbentuk dengan daging dan darah, jadi jangan pernah melakukan apapun melebihi batas, terhadap diri kita sendiri maupun terhadap orang lain. Semua punya kelemahan, semua punya keterbatasan, terimalah, dan saling menghargai satu sama lain.

Saya hidup di alam penjajahan, tapi jiwa saya tetap merdeka, sangat merdeka. Tidak ada yang bisa menyentuhnya, tidak ada yang bisa merubahnya…

In this whole life, just fight….for freedom…

Menutup Lembar Kelam Hidup Ini...

Menutup lembar kelam hidup ini
Membisiki hati dengan nilai-nilai terpuji
Mencari arti yang lebih pasti
Setelah lama berjalan seperti orang yang telah mati

Menutup lembar kelam hidup ini
Menapaki lembah dan jurang kehidupan dengan ketenangan suci
Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi
Seperti seorang bayi yang baru saja terlahir ke bumi

Anganku
Melayang tinggi
Asaku
Mulai jinak dan terkendali

Hidup yang cuma sekali ini
Harus punya arti...

( jakarta, 11 november 2008 )

Kamis, November 06, 2008

Kaukah Cahaya Itu ...?


"Kaukah Cahaya Itu ...?"

Dalam gelapku
Dalam sedihku
Dalam lelahku
Kau tiba-tiba hadir
Di setiap detik langkahku

Selalu ada menemaniku
Selalu ada menerangiku

Kaukah cahaya itu ...?

-------

"Sayang Itu Ada Disini... "

Sayang itu tidak dimana-mana
Sayang itu ada disini
Di setiap hela hembusan nafasmu...

(Jakarta, 06 November 2008)