Selasa, November 11, 2008

Ketika Muak Sudah Memuncak...

Dalam kehidupan sehari-hari ternyata tidak semua pemikiran kita bisa dipahami oleh orang lain yang ada di sekitar kita. Saya hidup dengan begitu banyak orang yang sebenarnya merupakan tim kerja saya sendiri, akan tetapi ada saat saya sering merasa sendiri, dan terkucil oleh pemikiran-pemikiran mereka yang “kurang positif” tentang diri saya. Saya berusaha mengakomodir apa yang mereka inginkan, berbuat baik dan baik dan baik, sesuai dengan kemampuan dan kekuatan saya, akan tetapi itu hampir tidak membantu sama sekali, hampir tidak merubah keadaan sama sekali.

Malam ini saya merenung sendiri di depan laptop salah satu bos saya yang dipinjamkan ke saya ( karena beliau baru saja beli laptop baru model terkini ). Hehe, bahkan masalah fasilitas kantor yang diberikan kepada saya ini juga menjadi perbincangan miring mereka terhadap saya (tentunya di belakang saya), dan perlahan, ketika muak saya sudah memuncak, saya mulai mengetik tulisan ini.

Machieveli, dalam bukunya Il Principe, menyatakan bahwasanya kekuasaan memang harus disertai dengan kekerasan, kekejaman, arogansi dan pengekploitasian ketakutan akan ancaman. Semua kebaikan akan berfungsi pada saatnya, akan tetapi stimulasi terbesar untuk hormat dan patuh adalah dengan semua bentuk intimidasi dan penekanan moral yang tak berperasaan.
Pengaruh, apa yang mempengaruhinya ?
- Sikap / attitude yang keji
- Kemampuan pribadi
- Uang untuk ‘membeli’
- Diferensiasi yang tinggi
- Ketergantungan yang tak terbagi
- Strategi
- Dekat dengan kekuasaan tertinggi
- Percaya diri
- Penggunaan tepat emosi
- Ketenangan tak bertepi
Yang terakhir ini dibutuhkan untuk membangun strategi, lalu perlahan-lahan membentuk semua hal lainnya.

Seperti mengemudikan sebuah mobil, tidak pernah ada niat kita untuk bersinggungan dengan kendaraan lain, tapi bisa saja terjadi tiba-tiba kita ditabrak oleh kendaraan lain tanpa permisi. Ketika kita masih mencoba meredam emosi, tau-tau malah kita yang dicaci maki, dibilang tidak becus mengendarai mobil lah, tidak melihat rambu lalu lintas lah, tidak pakai lampu sein ketika belok lah, pokoknyaq semua hal yang ujung-ujungnya cuma bermuara pada kesalahan yang sebenarnya tidak kita buat. Kalau kata salah satu teman bos saya, seperti mencari-cari tulang di dalam sebutir telur, sesuatu yang tidak ada tapi diada-adakan. Ketika ini sudah terjadi, tidak bersalah kita hunus pisau kita, lalu tusuk orang itu, biar dia tidak bisa bersuara lagi, kalau perlu selama-lamanya. Hei bung, kita bukan seonggok sampah yang tidak punya perasaan dan emosi, kita ini manusia yang diciptakan berbentuk dengan daging dan darah, jadi jangan pernah melakukan apapun melebihi batas, terhadap diri kita sendiri maupun terhadap orang lain. Semua punya kelemahan, semua punya keterbatasan, terimalah, dan saling menghargai satu sama lain.

Saya hidup di alam penjajahan, tapi jiwa saya tetap merdeka, sangat merdeka. Tidak ada yang bisa menyentuhnya, tidak ada yang bisa merubahnya…

In this whole life, just fight….for freedom…

Menutup Lembar Kelam Hidup Ini...

Menutup lembar kelam hidup ini
Membisiki hati dengan nilai-nilai terpuji
Mencari arti yang lebih pasti
Setelah lama berjalan seperti orang yang telah mati

Menutup lembar kelam hidup ini
Menapaki lembah dan jurang kehidupan dengan ketenangan suci
Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi
Seperti seorang bayi yang baru saja terlahir ke bumi

Anganku
Melayang tinggi
Asaku
Mulai jinak dan terkendali

Hidup yang cuma sekali ini
Harus punya arti...

( jakarta, 11 november 2008 )