Kenapa tangan ini tak mau berhenti merangkai puisi
Membuang waktuku
Membuai benakku ke alam tak tentu
Semua hal yang tak pernah ada maknanya
Kenapa jendela jiwaku tak kunjung terbuka
Membiarkan cahaya alam masuk menghangati
Menyinari sudut - sudut gelap yang sepi
Yang dingin dan tak pernah mau mengerti
Seonggok puisi - puisi usang sudah lapuk dimakan usia
Di rongga - rongga batinku yang menjerit minta diisi
Pengertian dan kasih sayang
Seperti anak kecil yang bingung mencari jalan pulang
Aku termangu
Untuk apa aku merajut puisi lagi ...?
Terbangun dari lelahku
Angin utara menerpaku
Mengeringkan semua cairan di syarafku
Menyedot lagi semua kesadaranku
Dan, seperti air sungai yang mengalir
Puisi kosong itu muncul lagi...
Mungkin memang sudah takdirku
Untuk terus menulis puisi
Sampai akhir waktuku nanti...
( Palembang, 22 november 2008, teriring salam untuk Gola Gong, untuk Balada Si Roy-nya, yang menginspirasi masa mudaku, untuk membuatku jadi tolol seperti ini... )
Sabtu, November 22, 2008
Ke Rumah Tuhan
Di tengah gersang jiwaku, termangu aku mencari kata "pulang"
Rumah ?
Pulang ?
Belum pernah kurasakan hangatnya pulang
Ya, pulang
Ke rumah Tuhan
Kesanalah aku akan pulang...
Rumah ?
Pulang ?
Belum pernah kurasakan hangatnya pulang
Ya, pulang
Ke rumah Tuhan
Kesanalah aku akan pulang...
MAE 1
Masihkah engkau disitu
Memandangi tulisan - tulisanku
Yang kutorehkan semampuku
Dengan tetes - tetes anyir darahku
Masihkah engkau disitu
Menerawang enggan ke masa lalu
Tempat dimana semua langkahku terhenti
Tertambat ribuan kata
Yang dulu pernah kauucapkan padaku
Masihkah engkau disitu
Harusnya aku benci untuk mengucap rindu
Tapi kehidupan berikutnya masih menunggu
Di kehidupan setelah kehidupan ini
Untuk sekeping ketidakpuasan sejarah di masa lalu
Aku akan mencarimu...
Memandangi tulisan - tulisanku
Yang kutorehkan semampuku
Dengan tetes - tetes anyir darahku
Masihkah engkau disitu
Menerawang enggan ke masa lalu
Tempat dimana semua langkahku terhenti
Tertambat ribuan kata
Yang dulu pernah kauucapkan padaku
Masihkah engkau disitu
Harusnya aku benci untuk mengucap rindu
Tapi kehidupan berikutnya masih menunggu
Di kehidupan setelah kehidupan ini
Untuk sekeping ketidakpuasan sejarah di masa lalu
Aku akan mencarimu...
Beribu Peristiwa Akan Kaulalui...
Anakku
Beribu peristiwa akan kaulalui
Beribu hikmah akan kauresapi
Dalam hidup ini memang banyak yang tak pasti
Kuhitung jumlahnya sejuta, tapi ternyata itu cuma sebagian kecil dari kumpulan mereka
Yang bersembunyi di dalam rongga - rongga gelap jiwamu
Godaan ujian dan cobaan sudah pasti akan menghampirimu
Ketika kau berhasil menyelesaikan satu maka janganlah cepat tersenyum
Karena yang kedua akan datang bersama yang nomor tiga, empat, dan seterusnya
Tapi, tetaplah tegar, seberat apapun itu
Karena aku tak akan membiarkanmu sendiri
Dalam setiap langkahmu, bayanganku kan slalu mengiringi
Mengantarmu
Membesarkan hatimu
Membasuh perih lukamu
Sampai kau mampu menapaki
Jalan - jalan dingin gelap dan sunyi seorang diri...
Beribu peristiwa akan kaulalui
Beribu hikmah akan kauresapi
Dalam hidup ini memang banyak yang tak pasti
Kuhitung jumlahnya sejuta, tapi ternyata itu cuma sebagian kecil dari kumpulan mereka
Yang bersembunyi di dalam rongga - rongga gelap jiwamu
Godaan ujian dan cobaan sudah pasti akan menghampirimu
Ketika kau berhasil menyelesaikan satu maka janganlah cepat tersenyum
Karena yang kedua akan datang bersama yang nomor tiga, empat, dan seterusnya
Tapi, tetaplah tegar, seberat apapun itu
Karena aku tak akan membiarkanmu sendiri
Dalam setiap langkahmu, bayanganku kan slalu mengiringi
Mengantarmu
Membesarkan hatimu
Membasuh perih lukamu
Sampai kau mampu menapaki
Jalan - jalan dingin gelap dan sunyi seorang diri...
Awanku Tebal
Awanku tebal
Mendungku besar
Mengaca pada jendela
Jiwa rapuh yang berkelana
Mampukah kau menjadi diriku
Yang diperbudak sepi karena tak mau keji
Tak bisa membunuh bayangan yang selalu menghantui
Berharap dia mengerti dan selalu ada disini
Mungkin kaubilang aku ini sapi
Mungkin kaubilang aku ini mimpi
Mungkin kaubilang aku ini tak bisa menyadari
Tapi akan kuberikan padamu satu kata yang paling tepat untuk kausemburkan padaku
Aku ini orang yang sudah mati
Ada di hamparan padang pasir sunyi yang tak bertepi
Lalu aku bertanya pada sapi
Siapakah yang bisa mengerti ?
Dia tak mengerti
Aku menatap ke sebuah batu, berharap dia menyelaku
Tapi diapun juga tak mengerti
Lalu entah kenapa angin dari Surga berhembus di telingaku
Ya, sekarang aku tahu pasti
Yang bisa mengerti
Ternyata cuma diriku sendiri...
Mendungku besar
Mengaca pada jendela
Jiwa rapuh yang berkelana
Mampukah kau menjadi diriku
Yang diperbudak sepi karena tak mau keji
Tak bisa membunuh bayangan yang selalu menghantui
Berharap dia mengerti dan selalu ada disini
Mungkin kaubilang aku ini sapi
Mungkin kaubilang aku ini mimpi
Mungkin kaubilang aku ini tak bisa menyadari
Tapi akan kuberikan padamu satu kata yang paling tepat untuk kausemburkan padaku
Aku ini orang yang sudah mati
Ada di hamparan padang pasir sunyi yang tak bertepi
Lalu aku bertanya pada sapi
Siapakah yang bisa mengerti ?
Dia tak mengerti
Aku menatap ke sebuah batu, berharap dia menyelaku
Tapi diapun juga tak mengerti
Lalu entah kenapa angin dari Surga berhembus di telingaku
Ya, sekarang aku tahu pasti
Yang bisa mengerti
Ternyata cuma diriku sendiri...
Air Mata Adalah Jembatan
Air mata adalah sebuah jembatan
Menuju istanamu yang telah lama menantimu
Menyeret semua perih lukamu
Diringi alam yang bersaksi
Atas kuatnya jiwa yang rapuh
Menahan semua keras peristiwa
Sungai yang diseberangi adalah sebuah cermin tanpa bingkai
Yang menampar jiwamu agar tersadar
Bahwa semua perjalanan akan mampu dilalui
Selama ada doa
Selama ada ikhlas
Selama ada tabah
Selama ada jiwa lurus yang tenang
Semua anugrah dan kasih sayang
Bagi mereka yang pipinya tak pernah kering terlewat air mata
Tapi hati kecilnya selalu berkata
Air mata hanyalah sebuah jembatan... kehidupan...
Menuju istanamu yang telah lama menantimu
Menyeret semua perih lukamu
Diringi alam yang bersaksi
Atas kuatnya jiwa yang rapuh
Menahan semua keras peristiwa
Sungai yang diseberangi adalah sebuah cermin tanpa bingkai
Yang menampar jiwamu agar tersadar
Bahwa semua perjalanan akan mampu dilalui
Selama ada doa
Selama ada ikhlas
Selama ada tabah
Selama ada jiwa lurus yang tenang
Semua anugrah dan kasih sayang
Bagi mereka yang pipinya tak pernah kering terlewat air mata
Tapi hati kecilnya selalu berkata
Air mata hanyalah sebuah jembatan... kehidupan...
Rabu, November 19, 2008
Satu Babak Di Salah Satu Penerbanganku

“ Ya Pak, pesawat delay 50 menit.”
Shit. Ucapan pramugari itu membuatku memaki kesal. Terbayang perjalananku yang nyaris liar menuju bandara tadi, tubruk sana tubruk sini, pamit sama bosku di kantor sambil setengah berlari waktu keluar dari ruangannya, kebut-kebutan melanggar beberapa rambu lalu lintas, dan yang terparah, flashdiskku yang berisi data-data kerjaan penting paling update ketinggalan di CPU computer.
“ Oh, ok,” jawabku singkat.
“ Apakah ada bagasi Pak?,” tanya sang pramugari ramah setelah melakukan pengecekan dan pendataan check in passenger dari tiketku.
“ Tidak, terima kasih,” jawabku lagi sambil menghentakkan tas ranselku lebih rapat ke lekukan atas punggungku.
Perjalananku pulang kali ini memang benar-benar meminimalisasi barang bawaan di dalam tasku. Dengan satu buah laptop, berkas-berkas kerja, dan beberapa buku saja, tas ransel 50 kilogramku ini sudah terasa sangat memberatkan beban di pundakku yang semakin hari semakin bungkuk saja rasanya.
Huh, masih sangat lama. Jam tanganku menunjukkan pukul 18.35 WIB. Jiwaku mulai terasa kosong, membayangkan liburan panjang yang akan kujalani di rumah.
“ Liburlah dulu barang satu bulan, “ ucap bosku di satu malam di dalam mobil, beberapa hari lalu saat kami pulang bersama setelah meeting dengan salah satu client.
Satu bulan? Busyet, lama sekali, satu minggu saja sudah cukup bagiku untuk melepaskan penat di otakku ini. Tak terbayang betapa kosongnya hari-hariku tanpa deadline dan tekanan dari berbagai pihak, seperti yang selama ini kujalani di Ibukota. Hehe, mungkin aku termasuk kategori orang aneh yang tidak terlalu menyukai kekosongan, tanpa aktifitas yang memacu adrenalin ataupun imajinasiku untuk bekerja.
Lalu lalang orang di dalam bandara tak kuhiraukan. Mampir di salah satu outlet oleh-oleh di dalam bandara. Membeli satu bungkus rokok, satu kotak minuman ringan, membayar airport tax, asuransi jiwa, lalu aku mulai berjalan menuju transit room B6, sambil sesekali membalas sms yang masuk. Ada yang menanyakan sudah sampai atau belum lah, ada yang minta dikabari jika aku sudah sampai tujuan, ada yang menanyakan angka deal terakhir dengan supplier di salah satu proyek kantor bulan depan, bahkan ada yang menanyakan dimana aku simpan STNK mobil operasional kantor. Hehe, benar-benar hidup yang hiruk pikuk, sebenarnya lebih tepat dibilang kacau dan tumpang tindih tak karuan, hehe.
Akhirnya, bisa juga aku duduk di Smoking Area depan B6, menyelonjorkan kedua kakiku lepas, sambil bertopang di ranselku yang sudah setia menemaniku selama 4 tahun terakhir perjalananku ini. Kupilih sudut yang paling temaram, dekat dengan pot bunga dimana aku bisa membuang limbah debu rokokku disitu, dan mulailah aku memulai ritual merokok sebanyak-banyaknya. Yeah, nikotin ini memang telah merajai rongga-rongga hidupku, menghabiskan raga badanku sedikit demi sedikit. Terbayang celana jeansku bernomor 30 yang kini teronggok di sudut lemari pakaianku tanpa aku sudi memakainya lagi. Badanku makin tipis, makin kering, makin kecil dengan sedikit balutan daging di atas tulangnya. Damn, who care, batinku.
Kubuka N95-ku, lalu iseng kutulis sebuah puisi, penyakit yang sudah sejak dulu tak pernah bisa kutinggalkan. Nampaknya Tuhan memang telah menakdirkan sepuluh jari tanganku ini untuk selalu mengeluarkan sejuta kata dari setiap gerakannya di atas kertas maupun di tuts computer, dan sekarang, di atas tuts handphoneku. Kupandang sekelilingku, orang-orang itu tak ada yang kukenali. Aku sendiri lagi, batinku. Perlahan mulai kutulis, tenang, namun pasti. Kuberi judul sesuai dengan kalimat pertama yang terlintas di dalam benakku.
“ Aku, Membayangkan Diriku Sebagai Sebuah Kesendirian… “
Aku membayangkan diriku sebagai sebuah kesendirian
Cuma bayangan saja yang setia menemani langkahku
Tak berumah dan hanya berjalan menuju ketiadaan tujuan
Menapak dalam kegelapan dan keterbatasan pandangan mata
Aku membayangkan diriku sebagai sebuah kesendirian
Jauh dari gurauan dan omongan basi yang membosankan
Aku ada di menara yang tinggi dimana aku bisa melihat diriku sendiri yang kerdil berjalan sendiri jauh di bawah sana di dalam sunyinya kegelapan malam
Lelah
Dan sakit
Jiwaku datar
Tak bersemangat
Ada di hatiku
Kurasa juga ada di hatimu
Ada di jiwaku
Kurasa juga ada di jiwamu
Kesendirian itu
Bagai bintang yang menempel malam
Di setiap langkahku
Di setiap hembus nafasku…
Lama aku terdiam, tak melakukan apa-apa, membayangkan semua peristiwa yang telah terjadi, disini, di bandara ini. Mulutku menggumam, lirih, “ Datanglah wahai penerbanganku…”
“ Masih di bandara yang sama…
Aku sendiri… lagi… “
( Jakarta, bandara soekarno hatta, menunggu delay 50 menit, 13 november 2008 )
Shit. Ucapan pramugari itu membuatku memaki kesal. Terbayang perjalananku yang nyaris liar menuju bandara tadi, tubruk sana tubruk sini, pamit sama bosku di kantor sambil setengah berlari waktu keluar dari ruangannya, kebut-kebutan melanggar beberapa rambu lalu lintas, dan yang terparah, flashdiskku yang berisi data-data kerjaan penting paling update ketinggalan di CPU computer.
“ Oh, ok,” jawabku singkat.
“ Apakah ada bagasi Pak?,” tanya sang pramugari ramah setelah melakukan pengecekan dan pendataan check in passenger dari tiketku.
“ Tidak, terima kasih,” jawabku lagi sambil menghentakkan tas ranselku lebih rapat ke lekukan atas punggungku.
Perjalananku pulang kali ini memang benar-benar meminimalisasi barang bawaan di dalam tasku. Dengan satu buah laptop, berkas-berkas kerja, dan beberapa buku saja, tas ransel 50 kilogramku ini sudah terasa sangat memberatkan beban di pundakku yang semakin hari semakin bungkuk saja rasanya.
Huh, masih sangat lama. Jam tanganku menunjukkan pukul 18.35 WIB. Jiwaku mulai terasa kosong, membayangkan liburan panjang yang akan kujalani di rumah.
“ Liburlah dulu barang satu bulan, “ ucap bosku di satu malam di dalam mobil, beberapa hari lalu saat kami pulang bersama setelah meeting dengan salah satu client.
Satu bulan? Busyet, lama sekali, satu minggu saja sudah cukup bagiku untuk melepaskan penat di otakku ini. Tak terbayang betapa kosongnya hari-hariku tanpa deadline dan tekanan dari berbagai pihak, seperti yang selama ini kujalani di Ibukota. Hehe, mungkin aku termasuk kategori orang aneh yang tidak terlalu menyukai kekosongan, tanpa aktifitas yang memacu adrenalin ataupun imajinasiku untuk bekerja.
Lalu lalang orang di dalam bandara tak kuhiraukan. Mampir di salah satu outlet oleh-oleh di dalam bandara. Membeli satu bungkus rokok, satu kotak minuman ringan, membayar airport tax, asuransi jiwa, lalu aku mulai berjalan menuju transit room B6, sambil sesekali membalas sms yang masuk. Ada yang menanyakan sudah sampai atau belum lah, ada yang minta dikabari jika aku sudah sampai tujuan, ada yang menanyakan angka deal terakhir dengan supplier di salah satu proyek kantor bulan depan, bahkan ada yang menanyakan dimana aku simpan STNK mobil operasional kantor. Hehe, benar-benar hidup yang hiruk pikuk, sebenarnya lebih tepat dibilang kacau dan tumpang tindih tak karuan, hehe.
Akhirnya, bisa juga aku duduk di Smoking Area depan B6, menyelonjorkan kedua kakiku lepas, sambil bertopang di ranselku yang sudah setia menemaniku selama 4 tahun terakhir perjalananku ini. Kupilih sudut yang paling temaram, dekat dengan pot bunga dimana aku bisa membuang limbah debu rokokku disitu, dan mulailah aku memulai ritual merokok sebanyak-banyaknya. Yeah, nikotin ini memang telah merajai rongga-rongga hidupku, menghabiskan raga badanku sedikit demi sedikit. Terbayang celana jeansku bernomor 30 yang kini teronggok di sudut lemari pakaianku tanpa aku sudi memakainya lagi. Badanku makin tipis, makin kering, makin kecil dengan sedikit balutan daging di atas tulangnya. Damn, who care, batinku.
Kubuka N95-ku, lalu iseng kutulis sebuah puisi, penyakit yang sudah sejak dulu tak pernah bisa kutinggalkan. Nampaknya Tuhan memang telah menakdirkan sepuluh jari tanganku ini untuk selalu mengeluarkan sejuta kata dari setiap gerakannya di atas kertas maupun di tuts computer, dan sekarang, di atas tuts handphoneku. Kupandang sekelilingku, orang-orang itu tak ada yang kukenali. Aku sendiri lagi, batinku. Perlahan mulai kutulis, tenang, namun pasti. Kuberi judul sesuai dengan kalimat pertama yang terlintas di dalam benakku.
“ Aku, Membayangkan Diriku Sebagai Sebuah Kesendirian… “
Aku membayangkan diriku sebagai sebuah kesendirian
Cuma bayangan saja yang setia menemani langkahku
Tak berumah dan hanya berjalan menuju ketiadaan tujuan
Menapak dalam kegelapan dan keterbatasan pandangan mata
Aku membayangkan diriku sebagai sebuah kesendirian
Jauh dari gurauan dan omongan basi yang membosankan
Aku ada di menara yang tinggi dimana aku bisa melihat diriku sendiri yang kerdil berjalan sendiri jauh di bawah sana di dalam sunyinya kegelapan malam
Lelah
Dan sakit
Jiwaku datar
Tak bersemangat
Ada di hatiku
Kurasa juga ada di hatimu
Ada di jiwaku
Kurasa juga ada di jiwamu
Kesendirian itu
Bagai bintang yang menempel malam
Di setiap langkahku
Di setiap hembus nafasku…
Lama aku terdiam, tak melakukan apa-apa, membayangkan semua peristiwa yang telah terjadi, disini, di bandara ini. Mulutku menggumam, lirih, “ Datanglah wahai penerbanganku…”
“ Masih di bandara yang sama…
Aku sendiri… lagi… “
( Jakarta, bandara soekarno hatta, menunggu delay 50 menit, 13 november 2008 )
Langganan:
Postingan (Atom)