Di suatu sore yang mendung, langkah kaki saya terbawa ke satu tempat di Jakarta yang biasa disebut Senen. Sebenarnya itu memang tidak saya rencanakan, karena tujuan awal saya adalah ke Kemayoran, menyambangi rumah produksi salah satu kolega bisnis perusahaan tempat saya bekerja, untuk persiapan satu proyek yang sedang kami tangani bersama. Karena jalurnya lewat Senen, maka saya putuskan untuk mampir sebentar mengisi perut yang sudah keroncongan sejak berangkat tadi.
Setelah mengisi perut di Atrium Senen, entah kenapa saya naik melintasi jembatan penyeberangan menuju Pasar Senen di sisi seberang jalan sana. Masuklah saya ke arena penjualan buku-buku bekas, dan saya merasa jadi seorang musafir kehausan di padang pasir yang menemukan sebuah sumber mata air segar. Mata saya berkilat-kilat menyaksikan tumpukan buku-buku usang maupun baru di depan mata saya. Beberapa pedagang sudah mulai menyodorkan buku-buku mereka, tapi saya terus berjalan menyisir setiap judul buku yang ditumpuk rapi di setiap kios, satu demi satu, walaupun tidak ada satu judulpun yang terlintas di benak saya untuk saya cari saat itu. Sekedar melihat-lihat saja, siapa tahu ada yang bagus, batin saya. Sebenarnya saat itu otak saya sedang penuh dengan pertanyaan tentang manajemen system, berkaitan dengan pekerjaan saya, dan ada kecenderungan untuk mencari buku yang berkaitan dengan itu.
Menginjak kios kelima, pandangan mata saya terpaku pada sebuah buku yang memiliki judul dengan background hitam di sisi samping sampulnya. Saya baca judulnya. “Thick Face Black Heart…,” gumam saya setengah tak percaya, rasanya sangat girang seperti anak kecil menemukan mainannya yang telah lama hilang. Betapa tidak, buku ini sudah pernah saya pegang di Gramedia sekitar 2 tahun yang lalu, tapi urung saya bawa ke kasir karena kalah oleh beberapa buku lain yang saya putuskan untuk saya beli waktu itu. Tapi saya sempat bicara pada diri saya sendiri sekeluarnya dari sana, “Aku harus punya buku itu.” Ya, itu buku yang wajib saya miliki, suatu saat nanti. Dan, sekarang, buku itu ada di depan saya. Saya menemukannya lagi, di tempat dan waktu yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Tanpa pikir panjang, saya cek kondisinya, mulus, masih bagus. Tawar menawar harga, cocok, bayar, lalu saya segera meninggalkan tempat itu. Saya memang punya prinsip untuk tidak membeli lebih dari satu buah buku dalam satu waktu yang bersamaan. Biasanya, jika dibeli juga, maka tidak semuanya bisa terbaca dengan tuntas, atau parahnya, semuanya justru tidak terbaca sama sekali karena keterbatasan waktu dan energy saya. Satu buku ini sudah lebih dari cukup untuk saat ini, batin saya. Dengan ketebalan 301 halaman, buku ini akan cukup menyibukkan saya satu minggu ke depan.
Dan waktu terus berlalu, buku itu ternyata baru bisa terbaca 2 bulan kemudian, setelah terbawa kesana kemari dalam setiap kegiatan saya, dan otomatis menghabiskan sebagian space dalam tas saya, bahkan kadang di dashboard mobil saya, menggeletak kepanasan terpanggang sinar matahari dan menggerutu sendirian. Akhirnya, saat sedang menunggu loading barang dalam satu persiapan event exhibition kami, di waktu jeda itu mulailah saya membuka lembar demi lembarnya. Satu bab, dua bab, saya lalu menutupnya lagi, memberinya pembatas dan memasukkannya dalam tas karena pekerjaan telah memanggil saya saat itu. Dan, dua minggu setelah itu, tepatnya malam ini, saya berhasil merampungkan bab tiga dan bab empat. Nah, materi di bab-bab inilah yang akan saya bahas, karena menurut saya ini sesuatu yang sangat dashyat dan benar-benar menginspirasi saya. Judul bab itu, “Dharma: Pohon Pemenuhan Permohonan.”
DHARMA: POHON PEMENUHAN PERMOHONAN.
DHARMA: POHON PEMENUHAN PERMOHONAN.
“Dharma adalah dasar penunjang kehidupan.” ( Mahabharata )
Kata Dharma berasal dari Bahasa Sansekerta, bahasa tertua di dunia, yang berasal dari India kuno. Dharma berasal dari kata dhar, yang artinya mendukung, menegakkan, memelihara. Jadi Dharma sering didefinisikan sebagai hal yang menunjang kehidupan. Kekuatan yang menopang dunia, koherensi antara alam semesta.
Dharma adalah pemahaman tindakan yang sesuai dengan keadaan yang sedang berlangsung. Ini berarti “bertindak sesuai dengan kewajiban seseorang”. Setiap orang memiliki Dharma yang berbeda-beda dalam kehidupan, sesuai dengan peran yang diembannya. Dharma seorang prajurit adalah melawan musuh bangsanya, Dharma seorang dokter adalah menyelamatkan nyawa pasiennya, terlepas dari semua kondisi dan hambatan yang dimilikinya saat itu, misalnya istri prajurit itu sedang hamil tua ketika perang meletus, atau dokter itu harus menyelamatkan nyawa musuhnya sendiri. Tidak ada pilihan, Dharma harus tetap dijalankan. Bahkan, seorang pencuri pun adalah hamba Tuhan yang sedang menjalankan Dharmanya, menjalankan perannya dalam kehidupan ini. Dengan Dharma, kita bisa memahami posisi kita saat itu dan menentukan sikap ataupun tindakan untuk berlaku sesuai dengan Dharma yang kita miliki. Jika Dharma dipatuhi, maka kehidupan akan berjalan dengan selaras dan seimbang. Kita akan bisa menerima kehidupan sebagaimana adanya dan melaksanakan kewajiban sesuai dengan itu, sekuat tenaga sesuai dengan kemampuan kita. Dharma menuntut keikhlasan, keberanian dan kejujuran. Semangat mencari kebenaran menjadi rohnya, dan pertanyaan yang selalu ada dalam setiap situasi adalah, “Apa Dharmaku saat ini?”
Kata Dharma berasal dari Bahasa Sansekerta, bahasa tertua di dunia, yang berasal dari India kuno. Dharma berasal dari kata dhar, yang artinya mendukung, menegakkan, memelihara. Jadi Dharma sering didefinisikan sebagai hal yang menunjang kehidupan. Kekuatan yang menopang dunia, koherensi antara alam semesta.
Dharma adalah pemahaman tindakan yang sesuai dengan keadaan yang sedang berlangsung. Ini berarti “bertindak sesuai dengan kewajiban seseorang”. Setiap orang memiliki Dharma yang berbeda-beda dalam kehidupan, sesuai dengan peran yang diembannya. Dharma seorang prajurit adalah melawan musuh bangsanya, Dharma seorang dokter adalah menyelamatkan nyawa pasiennya, terlepas dari semua kondisi dan hambatan yang dimilikinya saat itu, misalnya istri prajurit itu sedang hamil tua ketika perang meletus, atau dokter itu harus menyelamatkan nyawa musuhnya sendiri. Tidak ada pilihan, Dharma harus tetap dijalankan. Bahkan, seorang pencuri pun adalah hamba Tuhan yang sedang menjalankan Dharmanya, menjalankan perannya dalam kehidupan ini. Dengan Dharma, kita bisa memahami posisi kita saat itu dan menentukan sikap ataupun tindakan untuk berlaku sesuai dengan Dharma yang kita miliki. Jika Dharma dipatuhi, maka kehidupan akan berjalan dengan selaras dan seimbang. Kita akan bisa menerima kehidupan sebagaimana adanya dan melaksanakan kewajiban sesuai dengan itu, sekuat tenaga sesuai dengan kemampuan kita. Dharma menuntut keikhlasan, keberanian dan kejujuran. Semangat mencari kebenaran menjadi rohnya, dan pertanyaan yang selalu ada dalam setiap situasi adalah, “Apa Dharmaku saat ini?”
Seorang Arjuna dalam perang Bharatayuda pun mengalami perjalanan Dharmanya. Sebagai seorang ksatria maka dia harus membunuh saudara-saudara sepupunya sendiri dari klan Kurawa. Pertentangan batin hebat melanda dirinya, dimana ajaran-ajaran kasih sayang yang didapatnya selama ini seolah harus dicampakkannya demi sebuah perebuatan tahta dan kerajaan. Seorang titisan Dewa yang saat itu menjadi kusir untuk kereta perang Arjuna, sang Batara Khrisna, memberi nasehat kepadanya agar menghilangkan rasa kasih sayang yang semu. Arjuna harus maju berperang tanpa amarah dan nafsu angkara murka, bukan untuk sebuah tahta ataupun kerajaan, namun untuk memenuhi kewajiban bagi diri sendiri maupun bagi negaranya. Arjuna harus menjalankan Dharmanya, aturan alami kehidupannya. Semua berjalan mengikuti hukum alamnya, dan di akhir perang itu, Pandawa tetap utuh 5 orang, sedangkan Kurawa yang berjumlah 100 orang seluruhnya binasa.
Kita semua adalah ksatria, dan kehidupan ini adalah pertempuran yang abadi. Kita tidak perlu menyukai pertempuran itu, tapi yang terpenting adalah, kesanggupan kita untuk bertempur. Itu yang terpenting, dan pilihannya ada pada diri kita sendiri. Untuk bisa bertahan dalam kehidupan, kita harus menghadapi sifat negative batiniah dan realita dunia nyata. Pada kenyataannya, tidak ada yang gampang ataupun sulit. Kompetisi untuk bertahan hidup sudah menjadi kondisi kehidupan. Sudah menjadi Dharma kita untuk menjalankan pertempuran hidup secara benar dan ksatria.
Memang tidak mudah menemukan tindakan yang benar pada setiap saat kehidupan kita yang sesuai dengan Dharma kita. Bahkan kadang kita tak tahu pasti apa Dharma kita saat itu. Kita akan melewati tahap-tahap trial and error, gagal dan coba lagi. Tapi apapun jenis pekerjaan anda, anda akan berhasil jika anda mampu menunjukkan Dharma anda bagi pekerjaan itu. Sebuah kursi memiliki Dharma untuk rela diduduki, dengan begitu maka ia jadi berguna untuk kehidupan ini. Sebatang pensil atau seekor kambing, hanya akan berguna jika mereka menjalankan fungsi sesuai Dharmanya dengan benar. Dan untuk itu, Dharma membutuhkan apa yang dinamakan daya tahan. Dharma juga membutuhkan upaya atau usaha, karena langit tak akan terkuak dengan sendirinya jika anda tidak membukanya. Takdir membutuhkan upaya. Takdir dan upaya adalah dua sisi berbeda di satu uang logam yang sama. Surga akan menolong orang-orang yang menolong diri mereka sendiri.
“Segenap usaha itu suci bagi-Nya,
Di antara orang yang paling negative, tolol dan bodoh, serta yang paling positif, percaya diri dan yakin, hanya terbentang sedikit jarak hingga Sang Pencipta kita hanya menanggapinya dengan senyuman.”
( Chin Ning Chu – diilhami oleh Elizabeth Waterhouse )
Pengarang buku Thick Face Black Heart adalah Chin Ning Chu, seorang wanita keturunan China yang hidup di Amerika, merintis karirnya dari nol disana, hingga saat ini memiliki profesi sebagai Presiden Direktur Asian Marketing Consultants, Inc., juga Direktur Eksekutif RIM Master Group. Buku sebelumnya yang sudah pernah dibuatnya dan menjadi best seller adalah The Chinese Mind Game. Seorang wanita hebat yang telah berhasil mengendalikan semua rasa takutnya dan merubahnya menjadi sebuah alat untuk meraih kesuksesannya.
Mungkin perjalanan saya ke Senen adalah sebuah takdir saya dalam menemukan buku ini, dan posisi saya saat ini juga adalah Dharma yang memang harus saya jalani dengan baik, dengan semangat dan keikhlasan tinggi. Saya menulis ini juga Dharma, dan saya juga masih tak habis pikir, apakah juga memang sudah menjadi Dharma anda ketika anda kok jadi ikut baca tulisan ini sekarang, dalam salah satu waktu di kehidupan anda yang panjang ini, hehe. Semoga bermanfaat, itulah sekilas pandangan tentang Dharma, hukum alam yang menuntun kita pada kebenaran dari tindakan kita.
Setialah pada kehidupan anda, pada hasrat anda sendiri.
“Segenap usaha itu suci bagi-Nya,
Di antara orang yang paling negative, tolol dan bodoh, serta yang paling positif, percaya diri dan yakin, hanya terbentang sedikit jarak hingga Sang Pencipta kita hanya menanggapinya dengan senyuman.”
( Chin Ning Chu – diilhami oleh Elizabeth Waterhouse )
Pengarang buku Thick Face Black Heart adalah Chin Ning Chu, seorang wanita keturunan China yang hidup di Amerika, merintis karirnya dari nol disana, hingga saat ini memiliki profesi sebagai Presiden Direktur Asian Marketing Consultants, Inc., juga Direktur Eksekutif RIM Master Group. Buku sebelumnya yang sudah pernah dibuatnya dan menjadi best seller adalah The Chinese Mind Game. Seorang wanita hebat yang telah berhasil mengendalikan semua rasa takutnya dan merubahnya menjadi sebuah alat untuk meraih kesuksesannya.
Mungkin perjalanan saya ke Senen adalah sebuah takdir saya dalam menemukan buku ini, dan posisi saya saat ini juga adalah Dharma yang memang harus saya jalani dengan baik, dengan semangat dan keikhlasan tinggi. Saya menulis ini juga Dharma, dan saya juga masih tak habis pikir, apakah juga memang sudah menjadi Dharma anda ketika anda kok jadi ikut baca tulisan ini sekarang, dalam salah satu waktu di kehidupan anda yang panjang ini, hehe. Semoga bermanfaat, itulah sekilas pandangan tentang Dharma, hukum alam yang menuntun kita pada kebenaran dari tindakan kita.
Setialah pada kehidupan anda, pada hasrat anda sendiri.
Cia yo, tetap semangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar