Dalam rangka meningkatkan taraf hidup, banyak orang yang memilih jalur independent. Mereka, dengan kekuatannya sendiri, dalam skala besar maupun kecil, membuka usahanya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Di jaman sekarang mereka lazim disebut entrepreneur, kalau jaman dulu waktu Bapak saya masih muda disebut wiraswasta, di KTP biasanya tertulis begitu, hehe. Berbeda dengan profesi pegawai yang tidak ikut serta menanggung konsekuensi logis dari sebuah hasil usaha, maka para entrepreneur ini merupakan pihak yang berhak dan wajib mendapatkan kompensasi positif maupun negatif dari setiap hasil usaha yang dijalankannya. Banyak hal yang dibutuhkan untuk memulai usaha sendiri, yang pasti mental yang kokoh merupakan syarat mutlak yang harus ada. Ibarat sebuah bangunan, maka factor mental ini merupakan dasar atau pondasi untuk pengembangan faktor – faktor penunjang usaha selanjutnya. Jadi, kita tidak perlu berpikir atap plafon dulu kalau lantainya saja belum ada. Njenengan niki jan neko – neko kemawon, hehe ( bahasa Jawa, yang artinya: anda ini kok aneh – aneh saja, hehe ).
Banyak buku yang telah mengulas tentang entrepreneurship ini, terutama setelah buku ciptaan Robert T.Kisoyaki yang berjudul Rich Dad Poor Dad meledak di pasaran ( saya beli buku ini sampai dua kali, dan dua – duanya sekarang entah berada dimana, mungkin di gudang teman – teman saya yang pernah meminjamnya, atau malah sudah di tukang loak, hehe ). Buku ini mengulas tentang bagaimana sikap mental dan pola pikir logis yang semestinya diterapkan dalam pengelolaan asset untuk mencapai kebebasan finansial yang didambakan oleh setiap orang. Sejak saat itu, buku – buku dengan tema serupa, baik dari dalam maupun luar negeri terus bermunculan, bak cendawan di musim hujan, dan yang diuntungkan, tentu saja para entrepreneur yang bisa melihat celah ini sebagai satu peluang bisnis yang bisa ‘dimainkan’. Entah itu dengan seminar lah, dengan pelatihan, dengan event, atau dengan jualan buku itu sendiri. Tuh, cuma dari satu peristiwa saja banyak kan peluang bisnisnya, tergantung siapa yang bisa memanfaatkan momentum bisnisnya ( trik memanfaatkan momentum ini juga salah satu cirri khas yang biasanya dimiliki oleh para entrepreneur ). Tapi, secara global, paling tidak mata bangsa ini jadi sedikit lebih terbuka dan mulai bergairah untuk tidak ragu – ragu lagi mencoba berjuang membuka usahanya sendiri, baik dengan modal nekad, dengan modal dengkul, ataupun cuma bermodalkan buku dan berharap usahanya akan lancar setelah dia membeli buku itu ( tanpa usaha dan doa nampaknya mustahil ya, hehe ). Wallahu alam, semua tergantung usaha dan garis kehidupan masing – masing orang juga, yang jelas niat awalnya baik, mau berusaha.
Saya mengulas masalah ini karena saya juga ingin loh menjadi seorang entrepreneur, walaupun status saya saat ini masih menjadi seorang pegawai swasta. Saya membayangkan bagaimana nikmatnya menjalankan usaha sendiri, termasuk kebat – kebitnya hati ini saat menghadapi segala macam resiko, juga saat hampir dapat untung dari usaha tersebut, rasanya pasti seperti orang mancing yang kailnya kesangkut ikan, hmm. Hal – hal seperti itu mungkin tak terbayar begitu saja dengan tingkat keuntungan besar yang kita harapkan, tapi kepuasan batinnyalah yang bisa membuat kita bertahan. Faktor mental yang saya sebutkan di atas tadi yang menentukannya, atau semuanya justru malah akan menjadi siksaan batin bagi kita sekiranya kita memaksakan ketidaksiapan kita ketika memulainya. Jadi intinya, sebelum mulai, pikirkanlah semuanya masak – masak. Bukannya saya menakut – nakuti, tidak ada orang yang merencanakan untuk gagal, tapi rata – rata mereka gagal merencanakan, jangan sampai itu terjadi juga pada diri anda.
Berdasarkan ngobrol saya ngalor ngidul dengan beberapa pengusaha muda negeri ini, termasuk abang saya sendiri, saya mengambil beberapa kesimpulan sederhana, sesederhana pola pikir saya tentang dunia entrepreneurship ini. Mungkin inilah hasil minimalis saya tentang apa saja yang harus ada di awal kegiatan usaha swasembada tersebut.
1. Mentalisme usaha yang ulet, gigih, pantang menyerah namun juga penuh perhitungan dan analisa.
Sering kita dikejutkan oleh emosi dan antusiasme yang berlebihan, tanpa mempertimbangkan kekuatan kita, tanpa memperhitungkan faktor internal maupun eksternal yang ada dalam diri kita. Sebelum memastikan start, harus dipastikan terlebih dahulu komitmen kita terhadap diri kita pribadi atas usaha tersebut. Menetapkan target dan standarisasi yang rasional, serta memastikan kesiapan dan kesanggupan kita untuk berkorban meraih target – target yang telah ditetapkan tersebut merupakan tahap perencanaan awal yang paling penting. Kita juga harus menetapkan titik –titik rawan usaha kita berdasarkan perjalanan waktu atau keadaan tertentu yang bisa diprediksi, sehingga itu berfungsi sebagai ‘warning system’ kita untuk memastikan langkah apa yang harus kita ambil sekiranya hal itu benar – benar terjadi.
2. Jenis usaha yang cocok dan sesuai dengan kita, maupun dengan peluang pasar yang ada saat itu.
Kita harus mencari tahu skill apa yang telah kita miliki dan bidang pekerjaan apa yang cukup kita kuasai, dimana hal ini menjadi pedoman utama dalam menentukan jenis usaha apa yang akan kita pilih. Tentunya pekerjaan yang kita senangi lebih berpeluang untuk bisa bertahan, karena biasanya dengan kita sudah suka maka akan ada nilai keikhlasan disitu. Hal itulah yang akan membuat kita terasa lebih ringan dalam menjalani setiap ujian yang datang di depan kita saat menjalankan roda usaha tersebut. Namun juga harus diperhatikan peluang pasar yang ada saat itu maupun beberapa waktu ke depan. Jika kemungkinan perolehan pasarnya sedang tidak bagus, maka ada baiknya kita melihat – lihat jenis bidang usaha yang lain dulu.
3. Tahap perencanaan yang jelas, terukur dan terarah.
Ada baiknya kita melakukan study banding dan survey yang matang plus cermat sebelum kita memulai bidang usaha yang kita pilih. Hal ini bisa meliputi lokasi, kultur budaya kehidupan masyarakat sekitar, celah pasar yang ada, kompetitor, supply bahan baku, proyeksi pasar ke depan, sampai berapa panjang posisi merugi kita hingga mencapai titik BEP ( Break Event Point, impas ). Ini berkaitan erat dengan modal uang yang mau nggak mau harus disiapkan sedari awal. Kalo istilah ndeso-nya ‘mancing duwit yo nganggo duwit’, kalo mau mancing uang ya harus pakai uang juga. Suka tidak suka, inilah dunia kapitalis, kita harus menerimanya. Kita bisa membuatnya lebih efisien dengan penghitungan / kalkulasi biaya yang baik dan benar. Meleset meleset sedikit wajar lah, tapi akurasi disini akan membuat anda berjalan lebih stabil ke depannya. Di awal aja udah luput, apalagi nanti boss, hehe.
4. Strategi produksi dan pemasaran yang jitu dan sistematik.
Ibarat orang main catur, maka setiap langkah kita harus sudah memiliki minimal dua langkah lagi ke depan. Nah, runyamnya, saya gak terlalu pintar main catur, tapi paling tidak anda tau toh, dengan banyak main dan berlatih maka feeling kita pasti akan terasah dengan sendirinya. Semuanya sudah ada yang ngatur kok, bukan cuma kita, tapi juga Yang Di Atas. Satu hal yang malah sekarang jadi pertanyaan saya, apakah Karpov atau Kasparov yang pecatur kelas dunia itu juga mengalami jadi entrepreneur juga atau tidak ya, hehe. Stop, nggak usah main catur dulu, ayo cari strategi yang tepat. Pada prakteknya, ternyata membentuk pasar bukanlah sesuatu yang mudah, untuk beberapa orang ini justru menjadi tahapan yang paling sulit di tahun – tahun awal pendirian usahanya. Ada mitos yang menyebutkan, jika kita berhasil melewati dua tahun pertama usaha kita, maka saat itu kita sedang berjalan menuju tangga kesuksesan kita, kita telah berada di track yang benar. Tapi kita tidak pernah tahu apa yang bakal terjadi di depan, jadi kewaspadaan tetap menjadi factor penting juga yang tak boleh lengah ditinggalkan. Untuk contoh strategi, kita bisa nebeng pasar teman dulu umpamanya, semacam jadi sub gitu lah, sambil terus explore mencari peluang – peluang baru lainnya. Ini satu contoh strategi yang banyak diterapkan.
5. Terus belajar, membuka wawasan baru, dan sekiranya bisa, tak perlu ragu membuka jenis usaha lain yang bahkan tak ada kaitannya dengan bisnis yang sedang kita jalani, selama itu menguntungkan buat kita. Why not, sekecil apapun pemasukannya, itu harus tetap kita hargai. Sedikit – sedikit lama – lama menjadi bukit kan. Siapa tahu usaha sekunder anda malah berbalik menjadi usaha primer anda suatu saat nanti.
Saya cukupkan dulu sampai disini, saya khawatir malah ngelantur, karena saya ini juga asal ngetik aja apa yang sedang terlintas di benak saya saat ini gara – gara nggak bisa tidur, benar – benar tanpa kerangka apapun juga. Yang penting, semangat entrepreneurship tetap harus ada pada diri kita, bahkan yang berstatus pegawai sekalipun, karena kita selaku pegawai pun berkewajiban menghasilkan keuntungan untuk perusahaan tempat kita bekerja. Jadi sebenarnya konsepnya sama, menghasilkan profit. Tanpa mental entrepreneurship maka mustahil hal itu bisa kita wujudkan, yang ada malah jadi benalu, syukur kalau tidak beracun, tapi kalau sudah bekerja saja belum becus trus cuma mengeluh melulu tentang fasilitas kantor, cerita miring sana sini tentang rahasia dapur manajemennya sendiri ke pihak luar, nah itu yang bahaya tiga belas. Ketika kita jadi apapun, maka lakukanlah itu dengan keikhlasan dan dedikasi tinggi, maka karunia Tuhan akan selalu bersama anda, percayalah. Pernah saya membaca, sekiranya menjadi seorang tukang sapu jalanan pun, maka menyapulah layaknya seorang Picasso melukiskan kuasnya di atas kanvas, sesempurna dan sebaik mungkin. Semua karya anda adalah masterpiece untuk diri anda sendiri, dan juga untuk umat manusia di kehidupan ini.
Untuk tambahan, saya ini kok percaya pada ungkapan, yang penting nasinya dulu, kalo nasinya udah ada maka barulah kita mikirin lauk pauknya. Janganlah kita tergoda oleh suatu hasil yang besar, tapi tidak memikirkan faktor keamanan untuk kehidupan kita yang sedang dan sudah berjalan. Nanti yang ada malah bukannya dapat ikan sepuluh, tapi justru kehilangan dua ekor ikan yang sudah ada dalam genggaman. Yang terbaik menurut hemat saya adalah, pastikan kita aman dulu untuk standart hidup kita, barulah setelah itu kita masuk ke level berikutnya, mencoba menjadi entrepreneur sejati. By the way, informasi terakhir, untuk saat ini ternyata bukan cuma 'waktu' lagi menjadi asset potensial internal kita, tapi juga 'energi'. Ya, biarpun waktu kita sedikit, tapi kalau energi kita cukup maka kita akan bisa berbuat lebih banyak lagi untuk meningkatkan taraf hidup kita. Tetap bersemangat, dan pastikan daya tahan kita tetap tangguh, baik lahir maupun batin, untuk bisa mencapai apapun tujuan kita.
Untuk para entrepreneur yang sudah lebih dulu mengarungi cakrawala dunia wirausaha, semoga berkenan berbagi ilmu dan wawasan dengan kami – kami yang masih “belajar untuk terbang”.
Salam sukses selalu.
Tetap semangat.
Selasa, November 25, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar